Oleh : Taufik Hidayat
DPD selama ini menjalankan tugas dan fungsi dengan kewenangan yang kecil serta dengan jumlah anggota tidak lebih dari sepertiga anggota DPR. Dengan desain yang sudah tidak seimbang tersebut saja DPD kesulitan mengoptimalkan fungsinya. Karena dengan kewenangan dan jumlah yang minim tersebut maka suara DPD bila dilakukan sidang MPR maka tidak akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Posisi demikian kian menjadi lembaga DPD kian terpinggirkan bahkan hanya sebagai lembaga antara ada dan tiada. Yang berdampak pula terhadap rusaknya tatanan sistem check and balances di Parlemen.
Tujuan awal pembentukan serta pentingnya DPD sebagai penyeimbang yang seharusnya dijaga, bukan diobrak-abrik secara struktural melalui undang-undang. Pelemahan DPD melalui undang-undang telah terjadi sejak Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 itulah yang diajukan permohonan Judicial review ke Mahkamah Konsitusi, melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 itu permohonan DPD dikabulkan. Bahkan setelah lahir Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta undang-undang terbaru yakni Undang-undang Nomor 42 Tahun 2014 masih dinilai bermasalah dan mereduksi kewenangan DPD.
Undang-undang yang dibentuk seharusnya murni aspirasi rakyat untuk bangun tatanan sistem yang ideal dan mampu membawa kepada keadilan serta kesejahteraan bukan untuk tujuan lain-lain apalagi tujuan politik praktis. Namun seringkali lahir undang-undang yang bermasalah dan dibatalkan oleh Mahkamah konstitusi. Telah banyak yang berpendapat bahwa hal ini terjadi karena “kekhilafan” para perancangan undang-undang yang masih sangat terpengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Deteminasi unsur politik (partai politik) terhadap hukum tersebutlah yang kemudian melahirkan undang-undang yang kerap bermasalah.
Perkembangan politik saat memang memperlihatkan kuatnya tarik menaik kepentingan di antara berbagai kekuatan politik di parlemen. Dinamika politik yang mempengaruhi proses pembahasan rancangan perubahan undang-undang itu sangat dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan politik yang terlibat di dalamnya. Mengutip pernyataan Barbara Geddes dari University of California yang mengatakan : “whatever additional interest they may have, most political leaders want to remain in office, their gaols can only be accomplished in office are likely to work”. Geddes menyebut tingginya kepentingan politisi untuk selalu mempertahankan posisinya sehingga ia menjadi motivasi utama dalam setiap proses pembuatan undang-undang.
Logikanya sangat sederhana, kerapkali hukum dengan politik (partai politik) berada pada dua kutub yang berbeda. Hukum yang bertujuan untuk memberikan pembatasan-pembatasan terhadap institusi kelengkapan negara sedangkan politik (partai politik) bertujuan untuk meraih kekuasaan secara lebih luas dengan cara-cara tertentu. Dengan posisi yang berbeda seperti itu lahirnya hukum (undang-undang) yang terbebas dari kepentingan politik praktis sangat sulit terjadi. Kekuasaan yang selalu melekat dalam diri partai politik, sementara partai politik dominan dikendalikan elitenya. Seperti yang dikata Robert Michell, dalam partai politik selalu ada kelompok elite penentu yang memiliki posisi strategis sehingga mengendalikan proses pengambilan keputusan. Termasuk keputusan dalam pembuatan suatu undang-undang.
Roh Partai Politik dalam DPD
Saat berbagai permasalahan yang terus menghambat kinerja DPD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, serta di tengah upaya perjuangan DPD untuk memperjuangkan penguatan kewenangan institusional lembaga tersebut beberapa anggota DPD pada tahun 2017 memutuskan memasuk dalam kepengurusan partai politik. Setidaknya ada 70 anggota DPD berbondong-bondong masuk partai politik dan berafiliasi kepada partai lainnya. Situasi ini memunculkan kekhawatiran bahwa DPD akan menjadi perpanjangan tangan fraksi partai politik. Memang secara teori maupun praktik yang diterapkan di berbagai negara, senat atau DPD memang tidak diharamkan untuk diisi kader partai politik. Hanya saja, original intent UUD 1945 sesungguhnya tidak menghendaki demikian.
Permasalahan keterlibatan Anggota DPD dalam partai politik bukan merupakan suatu hal yang baru. Hal tersebut dapat ditelusuri dengan mudah sejak tahun pertama DPD terbentuk dimana banyak anggota DPD terafiliasi dalam partai politik. Fenomena migrasi anggota DPD secara hukum sah saja (legal) karena tidak ada norma hukum yang melarang hal tersebut. Meskipun pernah ada aturan yang mensyaratkan untuk menjadi anggota DPD tidak boleh berasal dari partai politik yakni pada era Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum DPD, DPR dan DPRD . Namun pada era Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 syarat tersebut dihilangkan, hingga dilakukan Judicial review ke Mahkamah Konstitusi dengan nomor perkara 10/PUU-VI/2008.
Mahkamah konstitusi kemudian memutuskan keanggotaan DPD yang berasal dari partai politik tidak bertentangan dengan konsitusi Karena syarat “bukan pengurus dan/atau anggota partai politik” untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut seakan-akan mengukuhkan dan benarkan ketiadaan syarat keanggotaan DPD yang berasal dari partai politik tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut akhirnya membuka ruang bagi pengurus partai politik untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD tanpa harus melepaskan baju partai politiknya. Bahkan sampai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum yang menjadi payung hukum penyelenggaraan pemilihan anggota DPD tidak lagi memunculkan larangan anggota DPD dari partai politik.
Melihat kondisi Indonesia saat ini yang sangat didominasi oleh partai politik. Maka akan sangat sulit bagi anggota DPD yang terafiliasi dengan partai politik untuk memperjuangkan kepentingan daerahnya secara mandiri dan independen, tanpa campur tangan partai politik. Dalam hal ini antara posisi sebagai anggota DPD sekaligus sebagai pengurus partai politik memisahkan kepentingan yang bertentangan satu sama lain. Keterlibatan anggota DPD dalam partai politik sangat rawan intervensi pengambilan kebijakan DPD hingga berdampak paling fatal terhadap kemandirian dan independensi kelembagaan DPD. Kondisi tersebut akan mengacaukan sistem checks and balances yang diupayakan dalam parlemen pasca reformasi. Hingga DPD yang seharusnya berfungsi sebagai kamar penyeimbang DPR menjadi tidak berarti sama sekali.
Solusi untuk menjaga DPD menjalankan tetap fungsi checks and balances dalam parlemen menemui jalan yang terjal karena penyusupan anggota partai politik dalam tubuh DPD. kondisi ini yang menjadikan DPD selayaknya satelit dari DPR, diperparah pula dengan kondisi awal DPD dalam bidang legislatif yang tidak pula kuat. Maka realisasi untuk mengubah undang-undang Pemilihan Umum serta undang-undang MD3 agar bisa mensterilkan pengaruh partai politik ditubuh DPD akan sulit terwujud. Padahal perubahan undang-undang tersebut menjadi sangat penting turut mengatur relasi kekuasaan yang ada di dalam Parlemen serta berguna untuk menguatkan demokrasi.
Setelah berbagai macam persoalan dalam DPD yang terus mengganggu kinerja lembaga tersebut DPD bisa saja akan sampai ke bagian ujung sejarahnya. Bukan karena lembaga tersebut dibubarkan tapi karena lembaga DPD tersebut telah kehilangan “roh” nya sebagai institusi yang merepsentasikan aspirasi daerah. Roh DPD yang telah berganti dengan roh partai politik yang menjadikannya sewarna dengan apa yang terjadi di DPR saat ini. Bukan tidak mungkin berbagai persoalan DPR saat ini turut pula menjangkiti tubuh DPD.