Konsep Dasar Cyber Notary : Keabsahan Akta dalam Bentuk Elektronik

Oleh:

Andes Willi Wijaya

 

Perkembangan teknologi terjadi dengan sangat cepat dan mempengaruhi kehidupan manusia dalam berbagai aspek. Banyak diantara kemajuan tersebut yang hadir sebagai inovasi disruptif, yaitu inovasi yang cenderung mengganggu pasar yang telah ada dan pada akhirnya akan menggantikan pasar tersebut. Masuknya pengaruh teknologi dalam bentuk elektronisasi pada kegiatan notaris membuat keseimbangan yang selama ini telah ada menjadi terganggu, notaris yang modern akan melakukan perubahan dan menggunakan bantuan teknologi sedangkan bagi mereka yang tidak akrab dengan teknologi tersebut akan memilih untuk bertahan pada tata cara yang selama ini telah dijalankannya.

Ada beberapa istilah yang digunakan untuk menggambarkan pemanfaatan teknologi oleh seorang notaris dalam melakukan pekerjaannya seperti e-notary, ada pula yang memilih istilah cyber notary, di Indonesia sendiri konsep yang seringkali dikemukakan menggunakan istilah cyber notary. Konsep ini memunculkan berbagai pendapat, ada yang mendukung dan ada yang menolak. Problematika utama yang timbul adalah perdebatan terkait keabsahan akta yang dibuat dalam sistem kerja cyber notary. Ada juga yang berpendapat bahwa cyber notary bertentangan dengan asas yang selama ini dipegang yaitu asas tabellionis officium fideliter exercebo, yang artinya bahwa seorang notaris harus bekerja secara tradisional (Eddy, 2014).

Sebelum membahas lebih jauh terkait keabsahan sebuah akta dalam praktek cyber notary, perlu untuk kita telusuri mengenai akar kemunculan dari konsep ini. Konsep ini dikemukakan oleh Information Security Committee of the American Bar Association pada tahun 1993, melalui konsep ini seorang notaris di Amerika memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai autentikasi terhadap dokumen-dokumen yang dibuat dalam komunikasi bisnis elektronik (Nicole, 2015). Dalam praktek, konsep ini telah diterapkan di Florida dan Alabama (Thaw, 2000), namun seringkali terjadi penolakan oleh yurisdiksi negara lain terkait keabsahan akta tersebut (Theodore, 2018). Hal yang perlu diingat bahwa notaris di Amerika sebagai negara yang menganut system common law memiliki perbedaan dengan notaris di Indonesia yang berasal dari system civil law. Notaris di Amerika yang dikenal sebagai notary public tidak bertanggung jawab terhadap akurasi ataupun legalitas terhadap dokumen yang diberikan stempel olehnya, implikasi terkait hal ini terletak pada perbedaan kekuatan pembuktian terhadap akta yang dibuat. Akta otentik yang dibuat oleh notaris di negara Civil Law memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sedangkan akta yang dikerjakan oleh public notary tidak.

Lebih jauh lagi, kekuatan pembuktian yang sedemikian kuat ini muncul dari kenyataan bahwa notaris di negara civil law memiliki sebuah kewajiban formil yang lahir dari pelaksanaan asas tabellionis officium fideliter exercebo. Kewajiban itu berupa kewajiban bahwa notaris itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditanda-tangan oleh notaris itu sendiri dan para penghadap masing-masing langsung di tempat dibacakannya akta itu oleh Notaris. Tanda tangan yang ditorehkan, harus tanda tangan asli dari Notaris dan para penghadap bukanlah tanda tangan elektronik yang bisa ditorehkan di dalam akta tersebut (Agung, 2012).

Kewajiban formil ini, menurut hemat penulis memiliki arti dan manfaat yang sangat dalam, yaitu dalam memastikan bahwa pihak yang mengadakan perjanjian tersebut adalah benar-benar pihak yang namanya tertuang dalam komparisi, bahwa ia tidak berada di bawah paksaan, tipuan atau kekhilafan, serta perjanjian tersebut telah sesuai dengan kehendak para pihak. Kewajiban tersebut membawa notaris tidak hanya bertanggung jawab terhadap tanda tangannya saja sebagaimana public notary melainkan juga pada isi dari akta otentik yang dibuat olehnya. Pendapat tersebut sejalan dengan pengaturan akta otentik berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata merupakan alat bukti yang sempurna apabila memenuhi syarat berupa keharusan pembuatannya dihadapan atau oleh pejabat umum.

Memperluas pengertian akta otentik dengan memasukkan akta dalam bentuk elektronik sebagai hasil praktek cyber notary justru akan menimbulkan pertentangan baru yang mungkin akan menurunkan kekuatan pembuktian dari akta otentik tersebut. Merujuk pada ketentuan Pasal 5 ayat (4) UU ITE, akta elektronik tidak memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna layaknya akta otentik. Hingga saat ini akta elektronik hanya dianggap sebagai akta di bawah tangan yang disamakan dengan dokumen, surat dan setifikat elektronik (Fahma, 2015).

Sehingga, penulis berpendapat bahwa konsep cyber notary yang semata-mata berasal dari Amerika hendaknya tidak diterapkan secara serta merta mengingat adanya perbedaan mengenai fungsi dan kewenangan notaris dan public notary.  Selain itu, perubahan terhadap ketentuan baik pengertian maupun syarat terkait akta otentik harus dikaji secara lebih mendalam sampai kepada alasan filosofis yang menciptakan pengertian maupun syarat tersebut yang meskipun terlihat kuno dan terkesan memaksa notaris untuk tetap bekerja secara tradisional justru memiliki pertimbangan hukum yang lebih baik dan memberikan perlindungan yang lebih kuat sehingga menjaga keutuhan kekuatan pembuktian dari akta otentik tersebut yaitu terkait tiga hal, kekuatan pembuktian formil, kekuatan pembuktian materiil, dan kekuatan pembuktian keluar.

Sebagai jalan keluar, Indonesia sebagai negara civil law dapat memberikan pengertian tersendiri terkait cyber notary dan menerapkan pembatasan-pembatasan penggunaan teknologi guna menjaga keabsahan dari sebuah akta otentik tersebut agar tetap sejalan dengan semangat utama adanya profesi notaris sebagai seorang pejabat umum. Misalnya, seperti yang diterapkan di Georgia, sebuah negara di Eropa Timur, di mana elektronisasi di sana tidak meniadakan kewajiban pihak untuk hadir di hadapan notaris, sebagai solusi pengertian notaris ini diperluas bahwa kedua belah pihak ini tidak harus hadir pada satu notaris yang sama, namun masing-masing hadir di hadapan notaris di daerah domisilinya dan kemudian para notaris tersebut berperan sebagai pihak yang memfasilitasi jalannya pembuaran perjanjian via video conference. Contoh tersebut memberikan penegasan bahwa cyber notary dalam praktek di negara civil law tidak menghapuskan kewajiban dari seorang notaris untuk tetap menjunjung tinggi ketradisionalannya dalam rangka menjaga keutuhan kekuatan pembuktian akta yang dibuatnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.