Eksistensi Hukum Pidana Adat dalam Dilema Pemaknaan Asas Legalitas

Oleh:

Timothy Nugroho

 

Hukum adalah untuk manusia, bukan sebaliknya. Berkaitan dengan hal tersebut, maka hukum tidak ada untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sesuatu yang lebih luas dan besar. Maka setiap kali ada masalah dalam dan dengan hukum, hukumlah yang ditinjau dan diperbaiki serta bukan manusia yang dipaksa untuk dimasukkan ke dalam skema hukum. (Rahardjo, 2009:5). Ungkapan dari almarhum Satjipto Rahardjo tersebut yang melandasi pemikiran hukum progresif kiranya relevan dikaitkan dengan eksistensi asas legalitas dalam hukum pidana dan eksistensi hukum pidana adat. Apakah makna asas legalitas dalam hukum pidana sesuai dengan konteks bangsa Indonesia dan bagaimana kedudukan hukum pidana adat dalam hukum positif Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diulas terlebih dahulu hakikat, makna dan sejarah asas legalitas. 

Asas legalitas merupakan asas yang fundamental dalam hukum pidana karena asas ini menentukan perbuatan-perbuatan mana saja yang dianggap sebagai perbuatan pidana. Asas ini dalam hukum pidana Indonesia dikejawantahkan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan”.

Asas legalitas dirumuskan pertama kali oleh Johan Anselm von Feuerbach dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch des peinlichen recht (1801) melalui adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Menurut Machteld Boot dengan mengutip pendapat Jescheck dan Weigend, ada empat syarat yang terkandung dalam asas legalitas yakni: Pertama, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Kedua, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Ketiga, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Keempat, tidak ada perbuatan pidana, tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat (Hiariej, 2016: 77-79).

 Berdasarkan uraian diatas maka penentuan ada tidaknya perbuatan pidana harus didasarkan pada undang-undang atau hukum tertulis sesuai dengan frasa “kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan” dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP itu sendiri. Tegasnya, pemidanaan berdasarkan hukum adat tidak dimungkinkan karena adanya asas legalitas tersebut.

Pemidanaan berdasarkan hukum tidak tertulis tidak mungkin dilakukan disebabkan asas legalitas lahir untuk menjawab ketidakpastian hukum akibat kesewenang-wenangan penguasa. Pada zaman Romawi dahulu dikenal adanya crimine extra ordinaria yang berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang. Di antara crimine extra ordinaria ini adalah crimen stellionatus yang secara letterlijk artinya perbuatan jahat atau durjana. Ketika hukum Romawi kuno diterima di Eropa Barat pada abad pertengahan, crimine extra ordinaria ini diterima oleh raja-raja yang berkuasa dan cenderung menggunakan hukum pidana itu sewenang-wenang menurut kehendak dan kebutuhan raja. (Moeljatno, 2015: 26).

Hans Kelsen menyatakan prinsip nulla poena sine lege, nullum crimen sine lege tersebut adalah ekspresi legal positivism dalam hukum pidana. Senada dengan Hans Kelsen, Simons menyatakan legal positivisme lebih menjamin kepada kepastian hukum. Jika dilihat dari situasi dan kondisi lahirnya asas legalitas, maka sulit dinafikan bahwa asas tersebut adalah untuk melindungi kepentingan individu sebagai ciri utama tujuan hukum pidana menurut aliran klasik. (Hiariej, 2016: 64-65)

Lantas bagaimana kedudukan hukum pidana adat dalam sistem hukum di Indonesia? Eksistensi hukum pidana adat sebagai yang hidup dalam masyarakat dalam hukum positif Indonesia sudah diakui oleh Pasal 5 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Tindak pidana adat sebagaimana substansi pengaturan dari hukum pidana adat, secara yuridis formal baru mempunyai dasar hukum semenjak dikeluarkan serta diundangkannya UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. Semenjak dikeluarkannya Undang-Undang a quo maka pemidanaan menurut hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) dimungkinkan. Mahkamah Agung pun mengakui eksistensi tindak pidana adat ini melalui putusan-putusannya, misalnya Putusan MA No. 195/K/Kr/1978 (mengadili delik adat Bali – Lokika Sanggraha) dan Putusan MA No. 59K/Kr/1969 (mengadili delik adat Karo – Ndjurmak).

Menurut I Made Widnyana, apabila ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 dihubungkan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP maka ditemukan adanya pergeseran prinsip yang dianut selama ini oleh hukum pidana. Lebih lanjut dikatakannya, untuk dapat dipidana suatu perbuatan seseorang tidak harus perbuatan itu diancam pidana dulu oleh KUHP atau perundang-undangan lainnya, tapi walaupun undang-undang belum atau tidak mengancam perbuatan itu, apabila ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis menganggap perbuatan itu sebagai perbuatan tercela, maka tidak ada alasan bagi hakim untuk tidak menjatuhkan pidana atas dilakukannya perbuatan tadi. (Widnyana, 2013: 60). Sependapat dengan I Made Widnyana, menurut hemat Penulis dengan menggunakan penafsiran sistematis, tindak pidana adat tetap dapat diberlakukan karena sudah memiliki dasar hukumnya yakni ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951.

Pada masa yang akan datang, dibutuhkan pemikiran hukum yang progresif dalam memaknai asas legalitas sebab makna asas legalitas yang kita ketahui selama ini berangkat dari pemikiran positivisme dimana hukum disamakan dengan undang-undang. Dibutuhkan pembebasan terhadap makna asas legalitas agar makna asas legalitas sesuai dengan kondisi bangsa Indonesia. Dengan pemikiran hukum yang progresif, seharusnya asas legalitas ke depannya tidak lagi dirumuskan dengan adagium nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali melainkan dirumuskan dengan nullum delictum nulla poena sine praevia iure poenali. Ketika kata lege (undang-undang) diganti menjadi iure (hukum) maka penentuan perbuatan pidana tidak hanya berdasarkan hukum tertulis melainkan juga hukum tidak tertulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.