Lanskap Perlindungan Hukum Kesehatan dan Keselamatan Kerja Bagi Pekerja Industri Kreatif

Oleh: Ade Saktiawan A

 

Kementerian Perburuhan Jepang mencatat kerja lembur berlebih mengakibatkan 96 pekerja tewas karena sakit dan 93 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri karena gangguan mental. Di Indonesia, Mita Diran seorang perempuan berusia 27 tahun yang bekerja sebagai copywriter di sebuah perusahaan periklanan harus menemui ajalnya setelah sebelumnya menderita koma. Mita sebelum mendapat perawatan dari rumah sakit menghabiskan waktu dengan bekerja selama 30 jam non-stop. Dalam piramida kecelakaan kerja jika terdapat satu kecelakaan fatal (cacat/kematian) di lapis piramida paling bawah terdapat 600 insiden yang dihadapi oleh para pekerja industri kreatif. Pekerja yang beredar dalam orbit sektor informal. Menurut SINDIKASI jam kerja yang panjang, lembur tanpa kompensasi, minimnya perlindungan kesehatan, tingkat stress tinggi, dan ancaman kekerasan menjadi gambaran rentannya para pekerja kreatif dalam kesehariannya. (Imam Soepomo, 2017)

Perlindungan hukum bagi pekerja/buruh meliputi lima bidang hukum perburuhan yaitu bidang pengerahan/penempatan kerja, bidang hubungan kerja, bidang kesehatan kerja, bidang keamanan kerja, dan bidang jaminan sosial buruh. Bidang kesehatan kerja adalah selama menjalani hubungan kerja, yang merupakan hubungan hukum, pekerja harus mendapatkan jaminan atas kesehatannya. Apakah lingkungan kerjanya dapat menjamin kesehatan tubuhnya dalam jangka waktu yang relatif lama. Bidang keamanan kerja adalah adanya perlindungan hukum bagi pekerja atas alat-alat yang digunakan oleh pekerja. Dalam waktu relatif singkat atau lama akan ada dan aman jaminan keselamatan bagi pekerja. Dalam hal ini negara mewajibkan kepada pengusaha untuk menyediakan alat keamanan kerja bagi pekerja. (Imam Soepomo, 2017)

 

**

Gairah baru sektor industri yang berbasis digital di Indonesia saat ini begitu berambisi mengejar ketertinggalan di antara sesama negara di kawasan Asia Pasifik, ambisi ini membuat pekerja media dan pekerja kreatif begitu dominan mengambil peran dalam lini industri ini. Kementerian Komunikasi dan Informasi melalui website resminya memberitakan bahwa “pada akhir tahun 2015, nilai bisnis e-commerce tanah air diprediksi sekitar USD 18 miliar. Pada tahun 2020, volume bisnis e-commerce di Indonesia diprediksi akan mencapai USD 130 miliar dengan angka pertumbuhan per tahun sekitar 50 persen”.

Besarnya semangat pemerintah mendorong pertumbuhan e-commerce di Indonesia tentu berbanding lurus dengan semakin banyaknya dibutuhkan para pekerja industri kreatif ataupun para pekerja media digital yang berposisi sebagai man behind the gun operasi bisnis digital yang menyajikan pelayanan dan informasi selama 24 jam. Potensi terjadinya pelanggaran terhadap pemenuhan hak kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja industri kreatif semakin besar. Faktor resiko timbulnya penyakit akibat kerja seperti depresi, stres, hingga bipolar yang membuat para pekerja industri kreatif sangat beresiko terpapar dengan penyakit ini.

Lembaga LION (Local Intiative for OSH Network) sebagai sebuah lembaga yang fokus pada permasalahan K3 menyatakan bahwa pekerja dengan pola hubungan non standar tidak punya jaminan pasti. Itu berdampak pada K3 dan negosiasi kenaikan upah. Pekerja industri kreatif sebagai bagian dari pekerja sektor informal memiliki konsekuensi dan tantangan bagi pihak pemerintah dalam memberikan perlindungan ataupun memfasilitasi hak-hak kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja media dan industri kreatif yang subsektornya terbagi begitu banyak.

 

**

Perspektif dalam melihat dinamika sejarah pekerja sektor informal sangat luas. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan. Kedua rumusan pasal ini tidak cukup sebagai dasar satu-satunya dalam melihat dan menilai bagaimana pekerja sektor informal membidani lahirnya banyak jenis pekerjaan yang dilakoni oleh pekerja media dan pekerja industri kreatif. BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) membagi sektor pekerjaan di media dan industri kreatif menjadi 16 subsektor yaitu aplikasi dan game, developer, arsitektur, desain interior, desain komunikasi visual, desain produk, fashion, film, animasi dan video, fotografi, kriya, kuliner, musik, penerbitan, periklanan, seni pertunjukan, seni rupa, serta televisi dan radio.

Mengenali pekerja sektor informal dapat dilacak dari bagaimana industrialisasi di dunia membagi peran negara-negara di dunia dalam menciptakan jejaring dan konektivitasnya dalam dua gerbong besar, yaitu negara utara dan negara selatan. Predikat negara utara diberikan kepada negara-negara besar yang merupakan pusat aktivitas industri-industri raksasa, dan menjadi pusat dari akumulasi kapital. Predikat negara selatan diberikan kepada negara-negara sedang berkembang yang orbit edarnya berada di pinggiran inti kapital, Di Indonesia bisa dilihat dari penetrasi yang dilakukan sektor industri seperti industri semen yang menyingkirkan areal pertanian dan bahkan sumber air yang digunakan para petani untuk mengairi areal pertanian.

Pertarungan antara sektor industri dan sektor pertanian berpengaruh pada postur pekerja sektor informal seperti petani dan buruh tani yang semakin kecil secara kuantitas dari tahun ke tahun. Anak petani yang berhasil disekolahkan oleh orang tua tidak melanjutkan regenerasi dari orang tua yang petani, sedangkan petani dan buruh tani berganti pekerjaan mengisi kantong-kantong pekerja sektor informal di pinggiran arus besar kapital berpraktik. ILO (International Labour Organization) mengkategorikan pekerja sektor informal yang berada jauh di luar inti industri besar ini sebagai pekerja rentan, yang juga dinamai proletariat informal yang merumuskan bahwa kemunculan proletariat informal ini berada dalam kerentanan kerja dan kehidupan, tidak terserap oleh akumulasi kapital yang besar.  (Muhtar Habibi, 2016)

Karl Marx, filsuf dan ekonom asal Jerman melihat proses industrialisasi yang terjadi baik itu di perkotaan yang menjalar hingga pedesaan melahirkan struktur pekerja sektor informal sebagai surplus populasi relatif, sebuah kondisi yang membagi antara proletar atau pekerja aktif dan ‘pasukan’ cadangan. Untuk kondisi sekarang istilah surplus populasi relatif  bisa dilihat dari banjirnya sarjana ataupun ahli madya di bidang media dan industri kreatif yang siap berkompetisi untuk posisi-posisi yang membutuhkan kemampuan dalam bidang media dan rekayasa. Selain penggunaan mesin yang mengurangi peran pekerja, besarnya jumlah surplus populasi relatif inilah yang membuat timpangnya posisi tawar yang dimiliki oleh pekerja aktif sektor informal saat menuntut hak kepada pemilik perusahaan. Ketika hak atas upah yang layak posisi tawar pekerja sangat rendah, menjadi tanda tanya besar kemudian pemenuhan hak kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja.

 

***

BPS (Badan Pusat Statistik) melaporkan bahwa sektor industri kreatif pada tahun 2016 menyerap 15,9 juta pekerja dengan mengalami pertumbuhan sebesar 4,3 %. Persebaran secara sub sektor ataupun kewilayahan para pekerja industri kreatif ini yang kemudian dibutuhkan oleh pemerintah untuk mengidentifikasi bagaimana pemenuhan hak atas kesehatan dan keselamatan kerja. Kepastian hukum dalam upaya kesehatan dan keselamatan kerja di Indonesia dapat dilihat melalui Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja menyebutkan bahwa Pelayanan penyakit akibat kerja berlaku untuk semua pekerja baik sektor formal maupun informal, termasuk aparatur sipil negara, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Rumusan pasal ini bisa ditafsirkan bahwa beragamnya jenis dan kategori pekerja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berbeda-beda, ketika berbicara tentang penanganan penyakit akibat kerja, semua kategori pekerja tersebut diatur secara bersamaan dalam satu peraturan menteri kesehatan.

Tata laksana penyakit akibat kerja dibagi menjadi dua yaitu tata laksana medis dan tata laksana okupasi. Tata laksana okupasi memiliki banyak bentuk upaya, salah satu upaya yang bisa dilakukan dalam tata laksana penyakit akibat kerja ini adalah pelayanan pencegahan penyakit akibat kerja (Pasal 5 ayat (3) huruf a Peraturan Menteri Kesehatan No. 56 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Penyakit Akibat Kerja). FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama) dan FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut dan Fasilitas) diberi kewajiban oleh peraturan menteri kesehatan ini untuk menyediakan jenis pelayanan penyakit akibat kerja, yang artinya secara kompetensi, sarana dan prasarana harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan tersebut untuk menjalankan tata laksana penyakit akibat kerja. Langkah riil yang bisa dilakukan untuk menemui sasaran dari program tata laksana ini adalah adanya tindakan konkrit yang koordinatif dengan banyak pihak mengenai jumlah, tempat kerja dan jam kerja yang diperoleh oleh setiap pekerja industri kreatif.

Pemerintah sebagai salah satu pihak yang menjadi subjek hukum dalam relasi tripartit dengan pengusaha dan pekerja bisa mengambil peran tidak hanya dalam program tata laksana yang diamanahkan oleh peraturan menteri kesehatan. Sumberdaya dan tugas pokok yang dimiliki pemerintah merupakan modal yang strategis yang harus dimaksimalkan oleh pemerintah untuk melindungi para pekerja di sektor informal, pekerja industri kreatif. Instrumen-instrumen hukum seperti data, profil dan prosedur perizinan usaha bisa menjadi data bersama bagi banyak sektor di lingkungan pemerintahan untuk berkolaborasi dalam upaya pemenuhan hak bagi pekerja, termasuk hak atas kesehatan dan keselamatan kerja. Belum memadainya jumlah ahli K3 ataupun PPNS Ketenagakerjaan yang dimiliki setiap level pemerintahan bisa diantisipasi dengan upaya-upaya melibatkan para ahli kesehatan masyarakat secara aktif. Di pusat ada Program Nusantara Sehat dan Program Dokter Internship. Di lingkup ahli kesehatan masyarakat seperti yang digagas oleh Persakmi (Persatuan Sarjana Kesehatan Masyarakat) yang memprogramkan Satu Desa Satu SKM tidak disama ratakan. Sebab setiap wilayah memiliki permasalahan kesehatan yang berbeda-beda. Terlebih dengan tumbuhnya sektor industri hingga di wilayah pedesaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.