Urgensi Pemilahan Sampah

Oleh : Faisol Rahman

 

Pendekatan ‘kumpul-angkut-buang’ yang diterapkan selama ini di Indonesia, telah mengakibatkan seluruh sampah terpusat di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah.

Ironisnya, TPAS yang sejatinya menjadi lokasi pengolahan sampah akhir secara berwawasan lingkungan, pelaksanaannya saat ini masih jauh panggang dari api. Hampir semua TPAS yang terdapat di Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia, lebih layak disebut sebagai tempat penimbunan akhir sampah (TPA, Red) daripada tempat pengolahan sampah akhir sampah (TPAS).

Akibatnya sampah semakin menumpuk di TPAS, bahkan menggunung.

 

Timbulah berbagai dampak negatif terhadap lingkungan hidup, baik berupa bau tidak sedap, pencemaran tanah oleh limbah cair sampah akibat air lindi, dan menimbulkan emisi gas rumah kaca berupa gas Metana dari timbunan sampah organik, serta sumber penyebaran penyakit. Bahkan, sampai mengakibatkan kerusuhan sosial yang menimbulkan korban jiwa, seperti yang pernah terjadi di Bojong Jawa Barat.

 

Pendekatan tersebut terbukti mengakibatkan biaya yang luar biasa jumlahnya. Jakarta misalnya, pada tahun 2016 volume sampah mencapai 7.000 ton sampah per/hari, maka Pemprov DKI mengalokasikan anggaran mencapai Rp 1,95 miliar per/ hari. Jika setahun, maka total alokasi anggaran sebesar diperkirakan mencapai Rp 702 miliar. (“Hemat Rp 486 Miliar, Sampah di DKI Akan Dihancurkan di Level Kelurahan”)

Kesimpulannya adalah, sampah menjadi sulit diatasi.

 

Benarlah apa yang dikatakan Emil Salim, bahwa sampah itu ibarat api, semakin besar volumenya maka akan semakin sulit untuk mengendalikannya. Maka, semakin besar sampah yang masuk ke TPA maka semakin besar biaya untuk mengatasinya.

 

Oleh karena itu, pengurangan dan penanganan untuk menurunkan volume sampah yang menuju ke TPAS harus direalisasikan. Sehingga sampah tidak menggunung.

 

Inilah biang keladi permasalahan sampah di Indonesia.

 

Paradigma Baru Pengelolaan Sampah

Kehadiran UU No 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS) merupakan angin segar bagi upaya penanggulangan permasalahan sampah.

UUPS telah mengamanatkan pendekatan dari hulu ke hilir dalam pengelolaan sampah. Pendekatan ini mengganti pendekatan “kumpul-angkut-buang”.

 

Pendekatan tersebut dilaksanakan secara komprehensif dari hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, lalu sampai ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman di TPAS (Tempat Pemrosesan Akhir Sampah).

 

Sayangnya, saat ini Pemerintah masih cenderung menyelesaikan persoalan sampah di Hilir melalui proyek pembangunan TPAS di seluruh Kabupaten/ kota.

Pembangunan TPAS berwawasan lingkungan seolah menjadi solusi utama untuk mengatasi sampah. Padahal, pembangunan TPAS memerlukan dana yang tidak sedikit. Pembangunan Bantar Gebang misalnya, membutuhkan biaya hampir 1 triliun. Setara APBD suatu kabupaten selama setahun.

 

Kasus terakhir, pemerintah dan pemerintah daerah terkesan “ngotot” tetap melaksanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Padahal Mahkamah Agung telah membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) No 18/ 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan PLTSa. Perppres tersebut merupakan landasan hukum megaproyek pengelolaan sampah sekaligus pembangunan ketenagalistrikan di sejumlah kota yang ada di Indonesia. Namun pemerintah dan pemerintah daerah, seperti pemerintah kota Tanggerang, tetap bersikukuh melanjutkan proyek PLTSa tersebut. (Republika, 27/12/2016, Proses Pembangunan PLTSa Terus Dimatangkan)

 

Padahal, menurut data BPS kemampuan pemerintah untuk mengangkut sampah di perkotaan nasional hanya mencapai 11,25%. Sementara sisanya 63,35 % sampah ditimbun atau dibakar, 6,35 % sampah dibuat kompos, dan 19,05% sampah dibuang ke kali atau sembarangan.

Sebagai ibukota negara, maka layaklah apabila Kota Jakarta menjadi tolak ukur dalam pengelolaan sampah nasional.

 

Pemda Jakarta harus menyewa kendaraan pengangkut sampah kepada pihak swasta. Pada pertengahan Juli 2015 lalu, Suku Dinas Kebersihan Jakarta Utara menegasikan proyek pembelian truck angkut secara keseluruhan pada tahun 2016, sebagai salah satu upaya untuk menghemat anggaran belanja pengelolaan sampah.

Oleh karena itu, pada dasarnya pembangunan TPAS bukanlah sebuah solusi yang tepat dalam mengatasi permasalahan sampah.

 

Pemerintah ini masih enggan meningkatkan peran serta masyarakat di hulu.

Apabila peran serta masyarakat terlaksana, bukan tidak mungkin, apabila volume sampah yang menuju ke TPAS menjadi semakin berkurang.

Misalnya pengelolaan sampah di Dusun Sukunan Yogyakarta, mampu mengelola sampah hingga 90%. Sehingga hanya 10% sampah yang menuju ke TPAS Piyungan.

 

Peran serta masyarakat adalah sumber energi bagi pemerintah.

Masyarakat adalah penghasil sampah, karena itu layak dibebankan tanggung jawab dan partisipasi dalam pengelolaan sampah.

Peran serta oleh masyarakat dilaksanakan melalui berbagai kegiatan pengurangan dan penanganan sampah, misalnya melalui pemilahan, pengurangan, penggunaan kembali dan daur ulang sampah sebagaimana telah secara implisit tersirat di dalam UUPS.

 

Pemilahan Sampah

Pemilahan sampah dapat menjadi langkah awal untuk mewujudkan pendekatan dari hulu ke hilir.

Pemilahan telah menjadi kewajiban, yang telah lama ditetapkan melalui kehadiran Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (UUPS).

Selain itu, pelaksanaan pemilahan sampah merupakan hak untuk berperan serta oleh masyarakat, dalam rangka mewujudkan pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan. Sekaligus menjadi suatu kewajiban, akibat konsekuensi logis sebagai penghasil sampah rumah tangga dan sampah sejenis rumah tangga.

 

Kesadaran masyarakat untuk mengelola sampahnya juga harus ditingkatkan.

Masyarakat harus mengetahui, bahwa selama ini pembuangan sampah pada tempatnya yang dilaksanakan selama ini, hanyalah memindahkan masalah sampah dari penghasil sampah, dikumpulkan, lalu kemudian menggunung di TPAS. Harapannya masyarakat mau untuk mengurangi volume timbulan sampah yang dihasilkan, melalui upaya penanganan dan pengurangan sampah.

 

Pelaksanaan tersebut juga mencerminkan keadilan secara distributif. Suatu kewajaran, apabila mereka yang menghasilkan sampah lebih banyak menanggung kewajiban yang lebih berat dalam pemilahan sampah daripada yang menghasilkan lebih sedikit sampah. Secara umum, semakin tinggi komsumsi barang atau jasa maka semakin besar potensinya untuk menghasilkan lebih banyak sampah. Oleh karena itu, subsidi pengelolaan sampah selama ini cenderung dinikmati oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi.

Tanpa adanya pemilahan sampah, maka berbagai upaya pengolahan seperti daur ulang, penggunaan kembali, dan pemanfaatan kembali sampah yang dihasilkan sulit untuk diwujudkan, baik secara mandiri oleh masyarakat, komunitas, maupun skala besar di Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPAS). Seandainya dapat dilaksanakan pun, terbukti pada tahap membutuhkan biaya operasional untuk transportasi dan pemilahan sampah di TPAS menjadi besar.

Realisasi kewajiban pemilahan sampah, tentu dapat menimbulkan suatu rangsangan bagi masyarakat atau sumber sampah, untuk meminimalisir timbulnya sampah yang dihasilkannya. Pemerintah dapat pula menggalakkan pengomposan. Pelaksanaan pengomposan tentu dapat meminimalisir sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Mengingat volume sampah organik, umumnya mencapai 70% dari keseluruhan volume sampah rumah tangga.

Dampaknya kemudian, diharapkan masyarakat semakin enggan untuk membeli produk yang menghasilkan lebih banyak sampah. Akibatnya, para produsen barang atau jasa, akan turut meminimalisir penggunaan kemasan atau proses produksi yang berpotensi meningkatkan timbulnya sampah yang dihasilkan dari produknya.

Dampak komulatifnya adalah timbulan volume sampah yang dihasilkan oleh masyarakat dapat diminimalisir.

Pelaksanaan pemilahan yang baik tersebut secara tidak langsung mengakibatkan penghematan terhadap biaya transportasi sampah. Sebab, volume timbulan sampah yang dihasilkan oleh masyarakat menjadi berkurang. Para pengolah sampah skala kecil (pemulung), yang selama ini turut serta memanfaatkan sampah tentunya dapat turut serta meningkatkan kesejahteraannya. Kesuksesan pengelolaan sampah di TPAS Surakarta (Solo) dalam memberdayakan dan mensejahterakan para pemulung adalah layak menjadi contoh bagi aparatur pemerintahan.

Selaras dengan hal tersebut, sampah yang sampai di hilir, yang diolah lebih lanjut pada TPAS, akan menjadi berkurang. Sehingga beban atau biaya untuk operasional TPAS juga semakin berkurang.

Sebaiknya pemerintah mengkoreksi kebijakannya. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemerintah menuntut kecerdasan, efesiensi dan efektivitas dalam menentukan kebijakan pengelolaan sampah yang lebih optimal.

 

Alangkah baiknya apabila pemerintah menjadi teladan. Memulai langkah awal dengan merealisasikan pemilahan sampah di seluruh kantor-kantor instansi pemerintahan terlebih dahulu.

 

Setelah itu, barulah bersama-sama kalangan dunia usaha/ swasta untuk menggalakkan kegiatan pemilahan sampah. Lagipula, menurut Pasal 13 UUPS, telah mewajibkan kepada pengelola kawasan permukiman, kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas umum, fasilitas sosial, dan fasilitas lainnya untuk menyediakan fasilitas pemilahan sampah.

 

Pemilahan adalah adalah langkah awal, sekaligus langkah utama dalam mewujudkan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir, yang efektif dan efisien. Pemilahan juga sangat realistis dilaksanakan oleh seluruh stakeholders. Semuanya dapat diwujudkan tanpa proyek ratusan miliar. Kuncinya adalah kesadaran masyarakat dan dunia usaha serta diiringi kerja keras dan kreativitas kebijakan aparatur pemerintah.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.