Penggunaan Konsep Kedaulatan Negara oleh Pemerintah Myanmar dalam Menangani Kasus Rakhine State

Oleh: Hendro Valence L

Kedaulatan merupakan konsep yang menarik untuk dibicarakan jika dikaitkan dengan hukum Nasional maupun Internasional. Hal ini dikarenakan kedaulatan merupakan titik persingungan antara kedua tertib hukum tersebut. Konsekuensinya, konsep tentang negara yang berdaulat menjadi penyangga sistem tata hukum Internasional yang menjunjung tinggi prinsip non-intervensi (Sigit Riyanto, 2012). Meskipun demikian, dalam perkembangannya konsep kedaulatan negara ini selalu memunculkan perdebatan diantara para ahli hukum, khususnya dalam lingkup hukum internasional.

Perdebatan tersebut muncul ketika terjadi konflik dalam suatu negara dan negara tersebut menolak bantuan dari pihak luar untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi di wilayahnya. Atau dengan kata lain, negara tersebut menggunakan kedaulatan negara sebagai tameng atas tindakan yang dilakukannya. Keadaan inilah yang terjadi di Rakhine State ketika pemerintah Myanmar menolak dan memblokir bantuan kemanusiaan dari aid agencies PBBmaupun negara lain. Tindakan tersebut diklaim dilakukan oleh Myanmar karena alasan keamanan, di mana Myanmar menuduh sejumlah pekerja kemanusiaan berkoalisi dengan militan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) yang melakukan penyerangan di Rakhine.

Pada prinsipnya, Myanmar memang berkuasa atas wilayahnya untuk menyelesaikan konflik yang terjadi disana.Namun,penggunaan kedaulatan negara sebagai dalil atas tindakan Myanmar tidak sejalan dengan kondisi masyarakat di Rakhine yang sangat membutuhkan bantuan. Myanmar seperti menutup diri dari dunia luar untuk membantu menyelesaikan masalahnya. Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaan yang dapat diajukan ialah apakah kedaulatan negara sifatnya mutlak? dan apakah tindakan pemerintah Myanmar yang menolak bantuan dari luar negaranya karena kedaulatan negara dapat dibenarkan untuk kasus di Rakhine State?

  1. Hak Asasi Manusia Masyarakat di Rakhine State telah di langgar.

Pelanggaran HAM dalam kasus Rakhine State tidak dapat disebutkan jumlahnya, baik itu karena tindakan kekerasan, penyiksaan, pemerkosaan, diskriminasi dan lain sebagainya. Namun yang perlu digaris bawahi dalam kasus ini ialah hak untukhiduptelah dirampas dalam kehidupan orang-orang yang berada di Rakhine State, terlepas mereka merupakan warga negara atau bukan warga negara.

Dalam Deklarasi Universal HAM Pasal 3 dinyatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Hal senada juga dicantumkan pada Pasal 6 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik Tahun 1966 (ICCPR) bahwa setiap manusia berhak atas hak untuk hidup yang melekat pada dirinya. Tidak seorang pun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang, sehingga dapat dikatakan bahwa hak untuk hidup adalah HAM yang pokok yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini bahkan secara tegas dinyatakan pada Pasal 4 ayat (2) ICCPR. Namun tampaknya, hak-hak tersebut hanyalah sebuah angan belaka, karena peristiwa telah terjadi, dan hak tersebut telah dilanggar.

  1. Pemerintah Myanmar memegang peran utama dalam memberikan perlindungan kepada setiap orang yang berada dalam yuridiksinya.

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ketika konflikterjadi di suatu negara, maka negara tersebut memiliki otoritas untuk mengambil tindakan atas peristiwa itu. Sama halnya dengan konflik di Rakhine State ini. Orang-orang yang terkena dampak dari peristiwa ini perlu untuk diberikan perlindungan oleh pemerintah tanpa adanya diskriminasi (Lihat Pasal 6 Draft Declaration on Rights and Duties of States 1949. Lihat juga Pasal 2 ayat (1) ICCPR), dan pemerintah mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya peristiwa yang mengancam keselamatan setiap orang yang berada didalam wilayahnya (Lihat General Comment No. 6ICCPR 1966.).

Ketika negara tidak dapat melakukan pencegahan, dan telah menimbulkan korban, negara berkewajiban untuk memberikan pemulihan atas hak-hak yang telah dilanggar tersebut. Namun jika dilihat dari fakta yang terjadi di Rakhine State, lembaga bantuandari PBB telah diblokir untuk memasok bantuan kemanusiaan seperti air, makanan, dan obat-obatan ke ribuan warga sipil di negara bagian Rakhine Utara (Rebecca Ratcliffe, 2017). Tidak dapat dipastikan alasan pemerintah Myanmar mengambil tindakan seperti itu, apakah untuk mencegah adanya bantuan kepada kelompok militan seperti yang diklaim oleh pemerintah Myanmar? Terlepas dari adanya klaim pemerintah Myanmar, bagi penulis tindakan pemblokiran tersebut sangat beresiko jika dijadikan sebagai upaya preventif, karena hal ini sama saja dengan mengorbankan ribuan nyawa yang sedang membutuhkan pertolongan.

  1. Myanmar saat ini masih menggunakan pendekatan kedaulatan Negara dalam menyelesaikan konflik.

Tampaknya Myanmar sedang berusaha dengan kekuatannya sendiri untuk mengendalikan kondisi negaranya yaitumenggunakan kedaulatan negara sebagai dalil dalam menyelesaikan konflik. Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Ito Sumardi dalam tulisannya yang dikutip oleh detik.com menyampaikan bahwa pemilihan pendekatan kedaulatan negara yang digunakan oleh Myanmar disebabkan oleh kondisi politik domestik Myanmar yang belum stabil untuk menjalankan seluruh prinsip-prinsip demokrasi. (Fajar Pratama, 2017)Pada awal tulisannya, Sumardi juga mengingatkan bahwa permasalahan yang terjadi di Rakhine State merupakan permasalahan yang kompleks. Tidak hanya berkaitan dengan masalah agama, tetapi juga faktor sejarah, politik, sosial-ekonomi, poverty dan etnisitas, sehingga harus memandang permasalahan ini dalam berbagai sudut pandang.

Penulis setuju dengan pendapat Sumardi, bahkan Myanmar mempunyai hak untuk menggunakan pendekatan apa saja dalam menyelesaikan kasus ini. Tetapi ada hal yang perlu diingatbahwa situasi di Rakhine membutuhkan penanganan segera karena keselamatan dan kehidupan sebagai taruhannya. Dengan menerima bantuan dari negara lain tidak membuat kredibilitas Myanmar jatuh dihadapan masyarakat internasional. Lebih baik meminta dan menerima bantuan dari luar untuk menyelamatkan hidup banyak orang daripada mempertahankan kedaulatannya – dengan menolak berbagai bantuan yang diberikan – malah membuat banyak orang menderita dan nyawa orang tidak berdosa satu persatu gugur dalam zona konflik ini.

Hukum internasional mengakui dan menghormati otoritas masing-masing negara dengan menerapkan prinsip non-intervensi. Prinsip tersebut dapat dilihat dalam sejumlah aturan internasional misalnya Pasal 8 Konvensi Montevideo 1933, maupun Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB. Meskipun pada Pasal 2 ayat (7) tersebut mengatur adanya larangan intervensi, ternyata pasal tersebut juga menetapkan pengecualian bahwa prinsip non-intervensi tidak membatasi hak yang diberikan kepada Dewan Keamanan untuk melakukan tindakan-tindakan sesuai Bab VII Piagam PBB. Dengan demikian, kedaulatan negara yang memegang teguh prinsip non-intervensi terdapat pengecualiannya.

Konsep kedaulatan pada awalnya diterima dan berkembang di Benua Eropa sebagai konsep di mana suatu negara memiliki otoritas mutlak atas kebijakan eksternalnya dan tidak terikat oleh suatu struktur otoritas eksternal. Namun konsep tersebut dalam perkembangannya mengalami perubahan sebagaimana diperlihatkan dengan: (Sigit Riyanto, 2012)

  1. Pembentukan Uni Eropa sebagai organisasi supranasional;
  2. Kemudian karena isu HAM; dan
  3. Faktor globalisasi di bidang ekonomi seperti ekonomi internasional.

Berkaitan dengan isu HAM, sejak kemunculan PBB penghormatan dan pemenuhan serta penegakan HAM telah menjadi perhatian masyarakat internasional. Hal ini terkait dengan kewajiban yang dimiliki oleh anggota PBB untuk meningkatan penghormatan dan penegakan HAM sebagaimana tercantum pada Pasal 55 dan 56 Piagam PBB. Sehubungan dengan hal tersebut, D.J. Harris dalam bukunya Cases and Materials on International Law, yang dikutip oleh Riyanto, menyatakan bahwa yuridiksi domestik tidak dapat dijadikan sebagai dalih untuk tidak menegakkan dan mengungkap terjadinya pelanggaran hak asasi di suatu negara. Oleh karena itu, penggunaan kedaulatan negara harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip umum hukum internasional misalnya larangan penyalahgunaan hak.

Pada lingkup yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa saat ini kedaulatan negara tidak dapat lagi dipandang sebagai suatu hal yang sifatnya absolut, apalagi dikaitkan dengan terjadinya pelanggaran HAM, seperti di Rakhine State. Myanmar tidak dapat menutup diri dari dunia luar untuk menangani permasalahan di dalam wilayahnya, apalagi Myanmar secara nyata tidak mampu untuk mencegah dan memulihkan keadaan yang terjadi. Dengan kondisi tersebut, sudah seharusnya pemerintah Myanmar menerima bantuan dari luar negaranya,karena masalah HAM sudah menjadi concernmasyarakat internasional sesuai dengan kewajiban erga omnes dalam rangka penghormatan dan perlindungan HAM.

Ketika pemerintah Myanmar menolak atau memblokir bantuan kemanusiaan dari sejumlah aid agencies di PBB atau negara lain karena kedaulatan negaranya, maka hal tersebut tidak dapat dibenarkan. Lebih lanjut, kedaulatan negara yang digunakan oleh pemerintah Myanmar diartikan sebagai konsep yang tertutup tidak sesuai dengan teori relational sovereignty. Teori tersebutmenyatakan bahwa kedaulatan harus dipandang sebagai suatu konsep yang terbuka, lebih mengutamakan pada kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan pihak luar. Adanya interaksi tersebut tidak melemahkan makna kedaulatan negara yang bersangkutan, tetapi sebaliknya malah memperkuatnya. (Helen Stacy, 2003)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindakan pemerintah Myanmar yang menolak atau memblokir bantuan kemanusiaan dari PBB dan negara lain tidak dapat dibenarkan, karena kedaulatan negara tidak lagi bersifat absolut dan eksklusif. Tidak heran apabila Buotros-Ghali menulis the time of absolute and exclusive sovereignty … has passed; its theory was never matched by reality.( Boutrus-Ghali, 1992)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.