Menjerat HOAKS : Tentang Berlakunya Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana

Oleh :

Fatih Al Rosyid

 

Pada awal Oktober, publik digemparkan oleh berita dugaan  pemukulan yang dialami oleh tokoh aktivis Ratna Sarumpaet (RS). Berita ini mengundang perhatian baik di kalangan awam hingga elite politik yang mengecam keras dugaan pemukulan ini. Namun ibarat ungkapan Jawa “Esok dhele, sore tempe”, opini publik berubah seratus delapan puluh derajat pada hari Rabu tanggal 3 Oktober 2018 setelah RS mengadakan konferensi pers yang pada intinya mengklarifikasi bahwa kabar dugaan pemukulan yang Ia alami merupakan berita palsu (Hoaks). Klarifikasi ini ditengarai merupakan tanggapan atas pemberitaan dugaan pemukulan merupakan berita palsu. Selain itu, terdapat tiga buah laporan yang diterima oleh Polda Metro Jaya dan satu buah laporan yang diterima Bareskrim Mabes Polri yang kesemuannya menyatakan bahwa pemukulan tersebut adalah berita bohong (Tandika, 2018).

RS kini ditetapkan menjadi tersangka oleh Polda Metro Jaya karena disangka melanggar Pasal 14 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya UU 1/46) dan Pasal 28 juncto Pasal 45 Undang-Undang  Informasi dan Transaksi Elektronik (Gunawan, 2018). Menanggapi penetapan tersangka, muncul pendapat dari Andi Hamzah, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Trisakti, yang menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46 tidak dapat dikenakan ke RS. Salah satu alasan yang dikemukakan Andi Hamzah adalah pasal tersebut tidak memiliki kekuatatan hukum atau tidak berlaku. Tulisan ini akan berfokus pada keberlakuan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46, dengan mengesampingkan proses hukum dan fakta yang akan timbul dalam proses hukum yang dijalani RS.

Dalam acara Indonesia Lawyers Club yang disiarkan oleh Tv One pada tanggal 9 Oktober 2018, Andi Hamzah menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/1946 bermasalah karena Pemerintah melalui Undang-Undang No 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan UU 1 tahun 1946 di seluruh wilayah Republik Indoensia dan Perubahan KUHP (UU 73/58) tidak mengintegrasikan Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46 ke dalam KUHP. Lebih lanjut, Andi Hamzah juga menyatakan bahwa Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46 tidak disebutkan sama sekali dalam UU 73/58. Artinya, Andi Hamzah menyatakan bahwa untuk dapat berlaku seharusnya Pasal 14 dan Pasal 15 dimasukan ke dalam KUHP versi UU 1/1946 atau disebutkan secara tegas bahwa pasal tersebut masih berlaku melalui UU 73/58. Di sini penulis menangkap maksud Andi Hamzah bahwa untuk dinyatakan berlaku seharusnya Pasal 14 dan Pasal 15 dimasukkan ke dalam KUHP. Hal ini sebagaimana Pasal 156a KUHP yang berasal dari Penetapan Presiden Nomor 1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan dan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (Shidarta, 2018).

Pendapat ini bertentangan dengan pendapat Eddy O.S. Hiariej, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gadjah Mada. Melalui opinininya “Hoaks dalam Kampanye” (Hiariej, 2018), dengan tidak menyinggung sedikitpun kasus RS, Eddy berpendapat apabila seseorang menyiarkan suatu berita bohong yang menimbulkan kegaduhan, maka pelaku dapat dijerat dengan Pasal 14 UU 1/46. Dalam hal ini Penulis sepakat dengan pendapat Eddy karena ada tiga alasan mengapa Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46 masih berlaku. Alasan pertama  adalah tidak adanya satu pun peraturan perundang-undangan yang mencabut maupun mengganti Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46. Berdasarkan Asas Preasumtio Iustae Causa perbuatan pemerintah harus dianggap sah sampai dinyatakan sebaliknya. Dalam konteks perundang-undangan, suatu peraturan harus dianggap berlaku sampai dinyatakan tidak berlaku. Sepanjang penelusuran Penulis ketentuan yang memuat pencabutan maupun perubahan UU 1/46 ditemukan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU 73/58. Pasal 2 hanya mencabut Pasal 16 UU 1/46. Lalu dalam Pasal 3 UU 73/58 Pemerintah menyisipkan Pasal 154a dalam KUHP sebagai pengganti Pasal 16 UU 1/46.

Kedua, dengan menggunakan penafsiran A Contrario terhadap Pasal 2 UU 73/58, Pemerintah telah mengakui Pasal 16 UU 1/46 sah dan berlaku apabila tidak dicabut. Menurut Kansil, penafsiran A Contrario ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu pasal (Kansil, 1984). Lebih lanjut, dengan menggunakan penafsiran sistematis Penulis berkesimpulan bahwa terhadap peraturan lain yang tidak dicabut tentu masih belaku dan memiliki kekuatan hukum mengikat, termasuk Pasal 14 dan Pasal 15 UU 1/46. Penafsiran Sistematis sendiri merupakan metode penafsiran dengan menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya, baik dalam undang-undang an sich  maupun dalam undang-undang lain (Kansil, 1984).

Ketiga, Pasal 1 UU 73/58 telah tegas menyatakan bahwa “Undang-undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia”. Dalam menafsirkan pasal tersebut Penulis menggunakan penafsiran Gramatikal. Menurut Kansil, penafsiran Gramatikal adalah cara penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang. Dengan menggunakan penafsiran Gramatikal dapat disimpulkan bahwa pasal tersebut menghendaki UU 1/46 berlaku secara utuh (Kansil, 1984). Artinya, Pasal a quo tidak hanya menghendaki permberlakuan KUHP sebagaimana diatur dalam Pasal 1 UU 1/46 yang menyatakan bahwa “Dengan menyimpang seperlunya dari Peraturan Presiden Republik Indonesia tertanggal 10 Oktober 1945 No. 2, bahwa peraturan-peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku adalah peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942”. Implikasi dari berlakunya seluruh pasal dalam UU 1/46 adalah berlaku pula Pasal 14 dan Pasal 15.

Untuk menentukan bersalah tidaknya RS tentu harus melalui proses hukum yang adil hingga jatuh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap. Seyogyanya seorang yang terjerat kasus hukum harus dianggap tidak bersalah hingga jatuh putusan yang menyatakan Ia bersalah (Presumption of Innocence).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.