Oleh:
Andri Mahakam
Mahkamah Konstitusi berdasarkan pasal 24C ayat (1) dan (2) diberikan 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban. Empat kewenangan tersebut yaitu menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannnya diberikan oleh Undang-Undang Dasar NRI 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisishan tentang hasil pemilihan umum. Satu kewajiban dari MK yaitu memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Kewenangan yang akan saya bahas dalam tulisan ini adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menuji undang-undnag terhadap Undang-Undang NRI Tahun 1945. Kewenangan ini menjadi sangat menarik karena dalam perkembangannya banyak sekali dinamika terkait dengan kewenangan menguji undang-undang ini. Hal ini tidak terlepas pula dari intensitas penggunaan kewenangan pengujian undang-undang terhadap Undnag-Undang dasar NRI Tahun 1945 yang relatif lebih banyk dari penggunaan kewenangan lainnya. Berdasarkan statistik yang diambildari web resmi Mahkamah Konstitusi, setidaknya terdapat 1181 perkara pengujian undang-undang yang telah dputus oleh Mahkamah Konstitusi. Jumlah ini sangat besar terlebih apabila kita membandingkan dengan putusan perkara sengketa kewenangan lembaga negara yang berjumlah 25, putusan perkara perselisihan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala derah yan berjumlah 981, serta putusan hasil pemilihan umum 2009 yang berjumlah 657.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi selain diatur dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 juga diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang nomor 24 Tahun 2003 mengatur kewenangan dan kewajiban Mahakamah konstitusi sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945. Namun, apabila kita menilik pada Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Mahkamah, terdapat perbedaan antara kewenangan dengan Undang-Undang Mahkamah Konstitus dan Undang-Undang NRI Tahun Dasar 1945. Perbedaan tersebut terletak pada pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, “ kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”. Hal ini kemudian memberikan kemungkinan pada Mahkamah Konstitusi untuk mempunyai kewenangan tambahan selain 4 kewenangan yang ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang Dasar NRI tahun 1945 dan Undang-Undang Mahakmah Konstitusi. Walaupun hal ini secara eksplisit berbeda dengan Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang telah menentukan kewenangan Mahkamah konstitusi secara limitatif, Mahkamah Konstitusi tidak mempermasalahkan penambahan kewenangan ini. Hal ini dapat dilihat dari tindakan Mahkamah Konstitusi yang “mengamini” kewenangan tambahan ini dengan menerima kewenangan tambahan untuk memutus perselisihan hasil pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota selama belum terbentuk peradilan khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Terkait dengan kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Undang-Undang Mahakamh Konstitusi tahun 2003 memberikan beberapa pengaturan. Beberapa peraturan yang menarik dan relevan dengan pembahasan dalam esay ini antara lain adalah ketentuan pada pasal 50 UU MK Tahun 2003 yang menyatakan,”Undang-undang yang dapat dimohonkan untuk diuji adalah undang-undang yang diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Selain itu, Undang-Undang Mahakamah Konstitusi pada pasal 56 juga membatasi bentuk putusan yang dapat dikeluarkan oleh Mahakamah Konstitusi yaitu mengabulkan permohonan, menolak permohonan, dan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. Lebih lanjut lagi pada pasal 60 undang-Undang Mahakamh Konstitusi disebutkan bahwa terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.
Kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 dalam perkembangannya bertumbuh menjadi sangat luas. Perubahan ini antara lain dimuat dalam putusan Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada beberapa hal yang saya catat sangat berpengaruh terhadap perkembangan kewenangan ini, yaitu: 1) perluasan makna Undang-Undang sehingga meliputi peraturan pemerinth pengganti undang undang; 2) munculnya putusan bersyarat; 3) kewenangan untuk menguji undang-undang sebelum amandemen UUD NRI Tahun 1945; 4) kewenangan untuk menguji TAP MPR terhadap Undang-Undang dasar; 5) kemampuan untuk meguji undang-undang yang mengatur Mahkamah Konstitusi sendiri. 6) kewenangan untuk menguji materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji dengan batu uji berbeda.
Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan, apabila Mahkamah Konstitusi dapat membuat penemuan hukum dan membatalkan aturan yang mengatur dirinya sendiri, lantas apa yang sebenarnya dapat mebatasi kekuasaan Mahkamah Konstitusi (Judicial Restaint)? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya mengambil pendapat dari Aileen Kavanagh dalam tulisannya yang berjudul “Justicial Restraint In The Pursuit Of Justice” yang menyatakan bahwa dalam melakukan keputusan untuk melakukan judicial activism atau judicial restraint dalam mengadili putusan dipengaruhi oleh aspek substantif dan institusional.
Kavanagh mengkalsifikasikan alasan-alasan yang digunakan oleh hakim menjadi dua alasan besar. Dua klasifikasi tersebut adalah alasan substantif (substantive reason) dan alasan institusional (institutional reason). Substantive reason adalah alasan yang mempertimbangkan terkait permasalahan hukum substantive dari legal question yang diajukan kepengadilan. Hal ini meliputi apakah produk yang dibuat legislatif dan/atau eksekutif ini mencederai hak asasi manusia atau tidak. Sementara Institutional Reason adalah alasan-alasan yang mempertentangkan pandangan hakim tentang cakupan dari kewenangan institusinya vis a vis parlemen dan kelayakan untuk melakukan intervensi dalam suatu kasus. Semakin banyak alasan alasan subtantif -dalam hal ini pelanggaran hak-hak konstitusional oleh undang-undang- yang terdapat dalam suatu kasus maka akan semakin besar juga kecenderungan hakim untuk melakukan judicial activism. Sebaliknya semakin banyak alasan-alasan institusional dalam suatu kasus maka hakim akan cenderung menahan diri dalam melakukan intervensi.
Kavanagh mengidentifikasi setidaknya terdapat empat jenis alasan institusional, yaitu 1) judicial expertise; 2) the incrementalist nature of judicial law; 3) relative institusional legitimacy; 4) reputation of the court. Judicial expertise merujuk pada batasan pengetahuan dan penguasaan dari hakim terkait dengan kasus-kasus yang ditangani. Dalam situasi dimana hakim tidak mengetahui atau setidaknya kurang yakin tentang bagaimana seharusnya sebuah perkara harus diselesaikan, atau mungkin tidak tahu atau tidak yakin terhadap konsekuensi dari putusan hakim, maka ketidak pastian yang demikian dapat memberikan dasar untuk dilakukannya judicial restraint sampai derajat tertentu.
The incrementalist nature of Judicial Law merujuk kepada sifat dari putusan pengadilan yang hanya bisa memperbaiki hukum sedikit demi sedikit. Preseden dari pengadilan tidak bisa mereformasi hukum secara keseluruhan. Terlebih di Indonesia lembaga peradilan bersifat pasif yang berimplikasi pada larangan ultra petita. Artinya, ketika pengadilan membuat suatu putusan, ia hsnya bisa untuk memperbaiki ketentuan yang diajukan kepadanya. Hal ini berbeda dengan kewenangan legislatif yang dapat mengubah seluruh ketentuan peraturan perundangan dengan sesuka hati. Legislatif tidak memiliki batasan hal yang dapat diatur, oleh karena itu legislatif dapat memperbarui segenap sistem hukum.
Relative intitutional legitimacy merujuk pada perbedaan legitimasi antara yudikatif dan legislatif. Kadang, pengadilan menahan diri untuk melakukan intervensi terhadap produk legislatif karena kurangnya legitimasi dan akuntabilitas dari yudikatif. Sebagai lembaga yang tidak diisi melalui proses pemilihan, lembaga yudikatif memiliki akuntabilitas dan legitimasi yang relaif lebih rendah dibandingkan lembaga eksekutif dan legislatif yang secara prinsipil bertanggung jawab kepada rakyat dan dipilih untuk menjabat dengan persetujuan rakyat dalam pemilu. Hal ini menyebabkan kekhawatiran putusan dari Mahkamah Konstitusi berpotensi untuk tidak diterima oleh publik atau bahkan oleh cabang kekuasaan negara lainnya.
Court Reputation artinya dalam menjatuhkan putusan hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan reputasi pengadilan. Hakim harus menjatuhkan putusan yang dapat meningkatkan kehormatan pengadilan, menunjukkan bahwa pengadilan imparsial, adil dan dapat dipercaya. Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan yang dapat membuat pengadilan namanya menjadi tercoreng. Pada akhirnya hal yang dikhawatirkan adalah pengadilan menjadi tidak dihargai lagi oleh masyarakat dan lembaga kekuasaan lain.
Menurut Larry D. Kramer dalam konsep pemisahan kekuasaan, cabang kekuasaan kehakiman merupakan lembaga yang paling lemah posisinya. Hal ini dikarena ketergantungan dari cabang kekuasaan kehakiman terhadap cabang kekuasaan lainnya untuk menjalankan putusannya. Tanpa penerimaan dan penghormatan dari legislatif dan ekskutif maka putusan hakim akan mandul dan secara praktis tidak dapat dieksekusi. Merujuk pada Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar dalam jurnal yang berjudul “Komparasi Sifat Mengikat Putusan Judicial Review Mahkamah Konstitusi Dan Pengadilan Tata Usaha Negara”, putusan dari pengdailan TUN dan Mahkamah Konstitusi sangat bergantung dari niat baik eksekutif. Hal ini dikarenakan kuasa pelaksanaan putusan terletak pada kekuasaan eksekutif.
Alasan-alasan yang diberikan oleh Kavanagh diatas sebenarnya merupakan alasan-alasan yang tidak dapat secara saklek untuk dilaksanakan. Pada akhirnya penentuan penting tidaknya alasan institutional dibandingkan alasan substansial tergantung pada Mahkamah Konstitusi. Dalam memberikan keadilan kepada pencari keadilan, hakim harus mampu mengukur diri dan institusinya sendiri tentang bagaimana implikasi dari putusan tersebut. Penggunaan alasan institusional dan alasan subtantif ibarat dua sisi neraca. Kadang kala hakim akan menemukan dimana pertimbangan subtantif jauh lebih berat daripada pertimbangan institusional. Sebaliknya, kadang alasan institusional lebih berat dari alasan substantif. Namun, tidak jarang juga hakim akan menemukan keadaan yang sangat dilematis dimana alasan subtantif dan institusional dalam keadaan yang sama-sama penting. Maka, disinilah nurani dan fungsi independensi hakim diuji. Seingga hakim tidak hanya menjadi corong undang-undnag, namun juga menjadi pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of citizen’s constitutional right).