Oleh :
Yulianta Saputra, S.H.
Mahkamah Konstitusi (MK) belum lama ini membuat putusan yang kontroversial. Disebut kontroversial lantaran putusan tersebut melawan arus pemikiran publik terkait dengan eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Arus pemikiran yang berkembang di masyarakat, yakni KPK sebagai lembaga independen, bukan bagian dari eksekutif atau pemerintah. Karena itu, komisi anti rasuah ini harusnya tak masuk sebagai objek dari hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi demikian, putusan MK beberapa waktu yang lalu justru malah menolak permohonan uji materi penggunaan hak angket DPR terhadap KPK.
Sebagaimana kita ketahui, dalam uji materi ini, para pemohon yang di antaranya dari pihak swasta dan beberapa pegawai KPK menganggap bahwa pembentukan hak angket itu tak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Para Pemohon berpendapat bahwasanya KPK bukan termasuk unsur eksekutif sehingga tidaklah layak dijadikan sebagai objek pelaksanaan hak angket oleh DPR. (https://nasional.kompas.com, diakses 26 September 2018).
Namun putusan MK kali ini, hal yang terjadi justru sebaliknya. Dalam Pertimbangannya, melalui Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 dan Putusan MK Nomor 40/PUU-XV/2017, MK menegaskan bahwasanya KPK termasuk lembaga eksekutif yang dibentuk berdasarkan undang-undang dan notabene sebagai penunjang pemerintah. KPK, menurut MK, melaksanakan tugas dan wewenangnya sebagai lembaga eksekutif, yakni melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Dengan kata lain, hak angket DPR atas KPK adalah sesuatu yang konstitusional.
Meski seperti itu, putusan ini tidak diambil secara bulat. MK terbelah dalam menolak permohonan uji materi yang terkait Hak Angket KPK. Dari sembilan hakim, setidaknya ada empat hakim yang menyatakan pendapat berbeda (disssenting opinion) atas putusan ini. Mereka beranggapan KPK adalah lembaga independen, oleh karena itu, maka ia tak termasuk bagian dari lembaga eksekutif.
Inkonsistensi
Ada yang menarik dari putusan MK kali ini. Putusan MK ini dianggap bertentangan (tegengesteld) dengan beberapa putusan MK sebelumnya. Dalam putusan-putusan MK terdahulu, dikatakan KPK bukanlah bagian dari lembaga eksekutif. Namun, pada putusan yang baru-baru ini, MK justru memutuskan KPK sebagai domain dari eksekutif. Tak ayal, hal ini dapat dinilai sebagai sebuah bentuk inkonsistensi dari MK.
Setidaknya terdapat empat putusan MK yang sebelumnya secara jelas menyatakan bahwasanya KPK merupakan lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh lembaga apa pun. Di antaranya lewat, Putusan MK Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 tertanggal 19 Desember 2006; Putusan MK Nomor 19/PUU-V/2007 tertanggal 13 November 2007; Putusan MK Nomor 37-39/PUU-VIII/2010 tertanggal 15 Oktober 2010; Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011 tertanggal 20 Juni 2011.
Bahkan selain dari keempat putusan tersebut, lebih jauh lagi independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia sebenarnya dapat pula ditelisik dari putusan MK yang lain. Misalnya, ketika MK pernah memutuskan soal pembentukan lembaga seperti KPK yang dapat dianggap penting secara konstitusional (constitutionally important) dan eksistensi komisi-komisi negara semacam KPK merupakan suatu hal yang lazim pada era seperti sekarang ini sebagaimana telah dinyatakan juga dalam Putusan No 049/PUU-XI/2013.
Dari beberapa putusan tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa sifat kelembagaan KPK sejatinya adalah sebagai lembaga penegakan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi. KPK merupakan lembaga negara (staatsorgaan) yang bersifat independen di mana dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun.
Sebagai lembaga negara independen, ia diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan serta melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain.
Berpangkal tolak dari hal itu, putusan MK kali ini sejatinya dinilai tak sejalan dengan beberapa putusan MK sebelumnya. Yang mana dulu dikatakan KPK bukan bagian dari eksekutif, namun sekarang MK malah memutuskan bahwa KPK itu masuk ranah eksekutif. Sejujurnya dengan ketidakkonsistenan ini semakin menurunkan muruah MK ditengah sorotan khalayak terhadap problem pelanggaran etika yang pernah dilakukan oleh ketuanya sendiri.
Rentan
Putusan MK terkait hak angket DPR terhadap KPK ini akan menjadi preseden buruk. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif sehingga bisa menjadi objek dari hak angket.
Akibat lebih lanjut atas putusan ini, yakni manakala ada tindakan dari KPK namun tidak ‘disukai’ oleh DPR, sewaktu-waktu hak angket bisa digulirkan kembali. Oleh karena itu, KPK menjadi lebih rentan dan setiap saat bisa ‘diganggu’ oleh hak angket DPR. Dari itu pula, dapat dikatakan KPK saat ini tidak lagi menjadi lembaga yang sepenuhnya independen karena mereka menjadi objek pengawasan DPR.
Di masa mendatang, KPK harus lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas dan kewenangannya karena mereka sekarang berada di bawah pengawasan DPR. Namun, terus terang saja putusan MK yang mengatakan KPK adalah eksekutif yang independen itu sangat terasa bersifat ambigu, inkonsisten, dan multitafsir.