Oleh: Fikri Alan[1]
“Jiwa Besar Lahirkan Sikap Kesatria dan Toleran. Jiwa Kerdil Lahirkan Dendam dan Kebencian.”
K.H. Mustofa Bisri
Pendahuluan
Ketika pada tanggal 29 April 1945 Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disebut BPUPKI) didirikan, dan kemudian mulai bersidang untuk pertama kali pada tanggal 29 Mei 1945, pertanyaan dasar yang sesungguhnya ingin dijawab ketika itu adalah apa yang menjadi dasar negara Indonesia ketika sampai pada titik kemerdekaannya. Berbagai peserta dan anggota BPUPKI pun (saat itu berjumlah 60 orang dan 3 ketua), silih berganti menyampaikan pendapatnya, dimana kemudian yang paling terkenal pendapatnya hingga saat ini adalah pendapat dari Muhammad Yamin, Soepomo tentang Negara Integralistik, dan Soekarno. Ketiganya ketika itu dianggap paling memenuhi serta paling mendekati apa yang diminta oleh Radjiman Wediodiningrat selaku Ketua BPUPKI, mengenai “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltannschaung)nya Indonesia ketika merdeka, meskipun pada kenyataannya pendapat Yamin seringkali tertukar antara “Dasar Negara” dengan “Bentuk Negara.”[2]Pada akhirnya, diantara pendapat-pendapat tersebut, yang disepakati bersama oleh para peserta sidang adalah pendapat Soekarno, yang membagi dasar negara Indonesia menjadi 5 hal, dan selanjutnya kelimanya dinamai sebagai Pancasila.
Pancasila memang lahir dari kesepakatan bersama diantara para pendiri bangsa, yang nilai-nilainya diambil dari jiwa bangsa Indonesia yang telah dilakukan secara turun temurun dan diwariskan dari generasi ke generasi. Soekarno sendiri mengakui bahwa sebelum benar-benar merumuskan ke dalam sila-sila, dan menamainya menjadi Pancasila, pemikirannya sedikit banyak diambil dari hal-hal yan menjadi dan terjadi di masyarakat Indonesia ketika itu. Berbagai macam kebiasaan, yang kemudian berubah menjadi corak kebangsaan dan jati diri bangsa itulah yang sesungguhnya menjadi dasar dari ditemukannya Pancasila. Sehingga, sangatlah tepat jika kemudian dimaknai bahwa Pancasila adalah perwujudan jati diri dan falsafah Bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupan berbangsa, bermasyarakat, dan bahkan bernegara.
Pancasila sesungguhnya juga merupakan hasil kompromi terbaik yang ketika itu berhasil dilakukan antara para pendiri bangsa yang tergabung di dalam BPUPKI yang terbagi ke dalam beberapa golongan. Golongan-golongan tersebut diantaranya adalah golongan pergerakan, golongan islam, golongan birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, walikota), dan golongan peranakan yang terdiri dari peranakan tionghoa, arab, dan Belanda. Diantara golongan-golongan yang ada, yang paling besar jumlah masanya sesungguhnya adalah golongan Islam dan golongan pergerakan atau nasionalis. Kedua golongan tersebut menguasai hampir seluruh anggota BPUPKI dibandingkan dengan golongan-golongan lain. Sehingga sesungguhnya secara tidak langsung, Pancasila adalah bentuk nyata dari betapa moderat dan nasionalisnya golongan islam ketika itu. Selain itu, dengan adanya Pancasila, membuktikan bahwa para ulama dan kyai islam saat itubukanlah kelompok yang egois dan cenderung ingin menang sendiri. Mereka pada kenyataannya dengan berlapang dada dan berjiwa besar bersedia menerima kesepakatan bersama untuk memilih Pancasila sebagai jiwa bangsa,dan tidak memilih islam sebagai dasar negara.
Permasalahan
Pada kondisi saat ini, Pancasila pada kenyataannya telah mulai ditinggalkan. Bahkan, Pancasila cenderung mulai dilupakan, dengan ada keinginan dari sebagaian kecil pihak untuk mengganti dengan ideologi dan dasar negara yang lain. Kondisi ini dilengkapi pula dengan pihak-pihak yang mengusulkan hal tersebut, justrudatang para ulama-ulama islam yang sesungguhnya pada era kemerdekaan ikut membidani lahirnya Pancasila itu sendiri.Konflik yang demikian justru menimbulkan perpecahan dan konflik horizontal dan bahkan vertikal yang terkadang melibatkan masyarakat islam itu sendiri.
[1] Penulis adalah Mahasiswa Hukum Agraria dan Lingkungan Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2017
[2] Yudi Latif, Negara Paripurna, Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas, Pancasila, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Cetakan Kelima, 2015, hlm. 11
Secara normatif, Pancasilatidak didudukkan sebagai dasar hukum tertinggi di Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) dianggap menjadi norma hukum tertinggi (the supreme law of the land) dalam sistem hierarki norma hukum positif di Indonesia[1]. Kondisi tersebut mengandung maksud bahwa konstitusi memiliki derajat yang paling tinggi dibandingkan dengan bentuk peraturan perundang-undangan lain. Posisi konstitusi sebagai hukum tertinggi tersebut juga bermakna bahwa segenap elemen bangsa, baik penyelenggara negara maupun warga negara dalam menunaikan tugasnya menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara, haruslah mengacu dan merujuk pada konstitusi. Sehingga idealnya setiap elemen negara tersebut dapat berkomitmen kepada konstitusi itu sendiri meskipun ia bukan perancang konstitusi. Komitmen inilah yang akan menghasilkan budaya berkonstitusi, sehingga timbul prinsip konstitusionalisme, dimana norma konstitusi digunakan dan menjadi rujukan dalam setiap masalah kebijakan negara pada semua tingkatan.[2]
Namun, meskipun demikian,Pancasila sesungguhnya diletakkan dan digunakan sebagai sebuah alat yang mampu menjiwai dibentuknya UUD NRI 1945 tersebut. Hal ini dibuktikan melalui ketentuan dalam Pembukaan UUD NRI 1945 dimana di dalamnya menjelaskan secara gamblang mengenai dasar filosofis Pancasila sebagai dasar pembuatan UUD NRI 1945. Sehingga, berdasarkan rumusan tersebut, dapat diistilahkan bahwa Pancasila adalah jiwa dari seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia karena merupakan dasar dibentuknya UUD NRI 1945, yang notabene berkedudukan sebagai dasar hukum tertinggi.Hal inilah yang membuat Pancasila dianggap sebagai dasar negara, jiwa bangsa, atau yang lebih mendekati kenyataan adalah Pancasila dianggap sebagai Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Selanjutnya, atas konflik utama sebagaimana telah disebutkan di atas, merupakan sebuah permasalahan yang harus segera dicari solusinya. Menurut Penulis, permasalahan yang demikian, sesungguhnya dapat diselesaikan dengan cara mewujudkan dan menemukan kembali ulama yang berfikiran Pancasilanisme.[3] Pada kondisi saat ini, nampaknya bukan lagi pada tempatnya untuk membahas permasalahan mengenai apa dasar negara yang paling sesuai dengan Indonesia. Perdebatan tersebut telah selesai ketika BPUPKI menyatakan bahwa dasar negara yang dianut dan paling sesuai dengan Indonesia adalah Pancasila. Bukan lagi ideologi lain, seperti misalnya islam, nasionalis, dan bahkan justru komunis, maupun gabungan ketiganya, seperti Nasakom (Nasionalis, Agamis, Komunis), yang dulu sempat terkenal di era Orde Lama.
Oleh karenanya, sebagai dasar negara, Pancasila tentu harus dihayati, dilaksanakan, dan lebih jauh lagi, Pancasila harus dijiwai dan dilaksanakan dalam setiap kehidupan berbangsa dan bernegara. Demi menjaga terlaksananya kondisi tersebut, maka tentu diperlukan peran para ulama sebagai garda terdepan dalam memberikan pendidikan dan kesadaran kepada masyarakat, terutama masyarakat awam. Kondisi dan corak masyarakat Indonesia yang memang masih memegang teguh budaya dan tradisi yang telah dilaksanakan bergenerasi- generasi sesungguhnya harus mampu dimanfaatkan dengan baik untuk dapat melaksanakan hal ini. Kecenderungan masyarakat dan corak yang ada di dalamnya yang biasanya lebih patuh kepada ulama atau kyai, bahkan daripada penyelenggara negara pada umumnya, harus dimanfaatkan betul demi tercapainya tujuan tersebut.
Para ulama dan kyai, pada kondisi saat ini harus mampu menyadarkan dan memberikan pengarahan kepada masyarakat tentang Pancasila, terutama tentang nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Dengan dilaksanakannya nilai-nilai Pancasila seperti nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai persatuan, kerakyatan, dan keadilan, maka tentu dapat terbentuk sebuah tatanan masyarakat yang memang dikehendaki oleh para pendiri bangsa ketika itu. Sebuah tatanan masyarakat yang menjadi bentuk implementasi dari keyakinan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang penuh dengan toleransi, mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak memandang pada suku, budaya, ras, dan bahkan segelintir agamatertentu dalam kegiatan bermasyarakat. Pun juga terbentuknya sebuah tatanan masyarakat Indonesia yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaanyang beradab dalam melihat sebuah permasalahan. Dan pasti akan tercipta sebuah tatanan masyarakat Indonesia yang mampu mengedepankan nilai-nilai keadilan sosial di tengah-tengah kehidupan berbangsanya.
Sebagai bentuk implementasi dari upaya untuk mewujudkan dan menemukan ulama pancasila yang demikian, menurut penulis sesungguhnya dapat dimulai dengan melakukan revitalisasi pendidikan di dalam pesantren. Pesantren sebagai wadah utama dalam menemukan kembali ulama-ulama dan pemikir-pemikir islam yang baru, maka harus menjadi tempat yang sesuai dalam upaya melahirkan ulama yang berfikiran pancasilanisme.Ke depan, seharusnya materi-materi mengenai wawasan kebangsaan dan Pancasila harus sudah mulai diajarkan di pesantren. Bayangkan jika kemudian di dalam Pesantren mulai diajarkan mengenai konsep-konsep Pancasila. Tentu hasil dari pendidikan di Pesantren tersebut akan mampu menghasilkan lulusan yang tidak hanya faham mengenai ilmu-ilmu agama, melainkan lebih jauh lagi, lulusan Pesantren ke depan juga akan mampu menciptakan lulusan yang berfikiran dan mampu bersikap negarawan. Sosok yang nampaknya telah mulai jarang ditemukan di republik ini. Alih-alih mengganti pendidikan agama yang memang saat ini telah menjadi identitas dari Pesantren, namun “kurikulum” mengenai Pancasila justru akan mampu bersinergi dengan ilmu agama yang telah ada tersebut. Selain sebagai tujuan untuk menemukan kembali Ulama yang Pancasilanisme hasil didikan Pesantren, juga setidaknya ketika ilmu tentang Pancasila diajarkan di Pesantren, juga akan memberikan pemahaman awal kepada masyarakat pesantren akan pentingnya melaksanakan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
[1] Hal tersebut termuat dalam Pasal 1 ayat 2 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Menurut Hamdan Zoelva, frasa “kedaulatan berada di tangan rakyat” menunjukkan anutan negara terhadap prinsip demokrasi, sedangkan frasa “dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” menunjukkan dianutnya prinsip negara hukum dan konstitusi di Indonesia. Lihat Hamdan Zoelva, Orasi Ilmiah pada Wisuda Pascasarjana, Sarjana, dan Diploma, Universitas Islam As-Syafi’iyyah, Jakarta, 26 Maret 2014, hlm. 6
[2] Hamdan Zoelva, Pengelolaan Sumber Daya Alam dalam Perspektif UUD 1945, dalam Liber Amicorum 70 tahun Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H, UB Press, Malang, 2014, hlm. 12
[3] Hal ini berarti bahwa Pancasila dilaksanakan dan diwujudkan dalam segala kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana diletakkan pada konstitusi (konstitusionalisme) yang harus dilaksanakan dalam segala bentuk kegiatan bernegara dan bermasyarakat.