Penguatan Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia

Oleh: Yulianta Saputra, S.H.

 

LATAR BELAKANG

Adanya reformasi pada tahun 1998 yang dipelopori oleh mahasiswa, telah berhasil merubah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan menyempurnakannya hingga lebih menjamin kedaulatan rakyat serta perkembangan demokrasi modern.

Sejalan dengan tuntutan demokrasi guna memenuhi rasa keadilan masyarakat di daerah serta meningkatkan semangat dan kapasitas partisipasi daerah dalam kehidupan nasional, maka dalam rangka pembaharuan konstitusi, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membentuk sebuah lembaga perwakilan baru, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pembentukan DPD ini dilakukan melalui perubahan ketiga UUD 1945 pada bulan November 2001.

DPD adalah sebuah lembaga perwakilan seperti halnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili masyarakat pada wilayah tertentu.. DPD merupakan alternatif baru bagi bentuk “utusan daerah” di MPR, yang lebih merepresentasikan kepentingan daerah. Bila pada MPR sistem yang lama anggota utusan daerah merupakan hasil pemilihan eksklusif anggota DPRD Provinsi, maka anggota DPD dipilih melalui Pemilihan umum (pemilu) melalui sistem distrik berwakil banyak. Dalam sisitem ini, masyarakat langsung memilih nama kandidat, yang memang disyaratkan untuk independen (bukan pengurus Partai Politik).

 

SEKELUMIT MASALAH

Sejak kelahiran DPD, maka sistem perwakilan dan parlemen di Indonesia berubah dari sistem unikameral menjadi sistem bikameral. Namun, dalam perjalanannya, sangat dirasakan bahwa fungsi dan wewenang sebagaimana tercantum dalam pasal 22 D UUD 1945 setelah amandemen sulit mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD. Demikian juga sulit bagi anggota DPD untuk mempertanggungjawabkan secara moral dan politik kepada pemilih dan daerah pemilihannya. Pasal 22 D tersebut juga tidak dapat mencerminkan prinsip checks and balances antara dua lembaga perwakilan (legislatif). Padahal, DPD sebagai lembaga negara memiliki legitimasi yang sangat kuat karena anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat. Sebagai lembaga negara, tentunya DPD seyogyanya memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga negara lainnya. Karena mengalami keterbatasan itu, wajarlah apa yang dilakukan DPD untuk penguatan peran dan kewenangannya.

Dalam sistem ketatanegaraan di negara-negara demokrasi modern yang berdasarkan konstitusi, lazimnya memberikan peran, fungsi, dan kewenangan yang memadai pada lembaga-lembaga perwakilan sebagai wujud kedaulatan rakyat, yang diwujudkan dalam mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (check and balances). Fungsi legislatif yang dimiliki DPD masih terbatas yaitu mengajukan dan membahas rancangan undang-undang tertentu saja dan itupun tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Demikian juga dalam fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan.

Namun, bukan berarti dengan adanya keterbatasannya selama ini DPD tidak berbuat apa-apa. Banyak hal yang telah dilakukan oleh DPD sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Salah satu contoh adalah telah banyak mengajukan rancangan undang-undang (RUU), namun tidak memperoleh respon yang memadai dari DPR dan hanya dimasukkan ke dalam daftar tunggu di program legislasi nasionl (Prolegnas). Hal ini menimbulkan kesan seoleh-olah RUU yang diusulkan oleh DPD itu disamakan dengan RUU yang diajukan oleh masyarakat di luar lembaga negara, misalnya Lembaga Swadaya Masyarakat yang terkadang juga berkualitas.

Apa yang disebutkan dalam pasal 22D UUD 1945 di atas menunjukkan bahwa fungsi dan kewenangan DPD sangat terbatas jika dikaitkan bahwa DPD adalah sebagai lembaga perwakilan yang ditetapkan oleh UUD 1945. Hal itu merupakan kendala yang dihadapi DPD. Kendala itu secara ringkas bisa disebutkan antara lain: kewenangannya di bidang legislasi hanya sebatas mengusulkan dan membahas tetapi tidak ikut dalam pengambilan keputusan; dalam bidang pengawasan hanya sebatas memberikan masukan kepada DPR sebagai bahan pertimbangan; tidak ada ketentuan yang mengatur hak DPD untuk meminta keterangan dari pejabat negara, pejabat pemerintah dan lainnya seperti yang diberikan kepada DPR. Padahal anggota DPD berkewajiban menyerap, menghimpun, menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah. Sementara ekspektasi kepada DPD besar sekali karena diharapkan dapat menjadi solusi atas praktik sentralisme pada masa lalu yang dialami oleh masyarakat di daerah dengan adanya ketimpangan dan ketidakadilan. Bahkan, pernah timbul gejolak di daerah yang dikenal dengan pemberontakan daerah yang mengarah pada indikasi ancaman terhadap keutuhan wilayah negara dan persatuan nasional. Di sinilah urgensi keberadaan DPD juga dimaksudkan untuk memperkuat integrasi nasional dan mengembangkan demokrasi khususnya yang berkaitan dengan daerah. Kini setelah cukup lama berselang, keberadaan DPD mulai dievaluasi eksistensinya dalam memenuhi unsur sistem dua kamar parlemen (bikameral) dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Seperti misalnya pernah terlontar dalam Musyawarah Kerja Nasional Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Jakarta yang salah satu usulnya merekomendasikan agar DPD dibubarkan. Saran yang tentu saja sangat nyeleneh. Hal ini tak mengherankan jika dilandasi karena DPD dianggap sebagai lembaga tinggi negara yang kurang berfungsi mengingat kekuasaanya yang sangat sumir.

Namun kendati demikian, bagaimanapun eksistensi DPD adalah amanah konstitusi dan menjadi fragmen dari sistem ketatanegaraan Indonesia. Keberadaan DPD niscaya memberikan harapan baru demi semakin baiknya tata kelola pemerintahan dan semakin terwakilkannya suara rakyat (daerah) di Parlemen.

Karena itu DPD yang juga merupakan bagian dari pilar demokrasi bangsa ini, yang harus dilakukan sebenarnya adalah menambah kewenangannya dan bukan malah dibubarkan. Kewenangan DPD mestinya diperkuat sebab DPD itu mewakili kepentingan daerah.

 

UPAYA PENGUATAN

Di samping DPD ta’at konstitusi dengan melaksanakan tugas sesuai amanat yang sudah ada dalam konstitusi, secara berlanjut perlu diperjuangkan agar DPD memiliki peran, fungsi dan kewenangan yang lebih kuat sebagai lembaga parlemen dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah serta dalam rangka penguatan demokrasi di Indonesia.

Ini artinya diperlukan amandemen lagi terhadap UUD 1945. Hal ini dimungkinkan sebagaimana ketentuan pasal 37 ayat 1 UUD 1945. Usul itu tersebut dilandasi pertimbangan: Bahwa DPD memiliki legitimasi yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, karena itu seharusnya memiliki kewenangan formal yang tinggi. Usul pemberian kewenangan yang memadai itu karena DPD sebagai lembaga negara kedudukannya sama dengan lembaga negara lainnya. Dengan kewenangan yang sangat terbatas, mustahil bagi DPD untuk memenuhi harapan masyarakat dan daerah serta mewujudkan maksud dan tujuan pembentukan DPD. Penerapan prinsip check and balances antar lembaga legislatif harus diwujudkan.

Dalam rangka penguatan kapasitas DPD yang memadai dan lebih mantap, diperlukan penyempurnaan tatanan negara yang lebih menjamin kedaulatan rakyat dan prinsip cheks and balances antar lembaga negara. Dalam kekuasaan legislatif, perlu ditata kembali prinsip kesetaraan, saling mengontrol dan mengimbagi antara DPR dengan DPD. Tujuan ke arah tersebut akan berujung perlunya melakukan perubahan UUD 1945 secara komprehensif, dan dalam konteks DPD perlu penyempurnaan pasal 22 D.

Terlebih DPD telah memberikan penguatan kehidupan demokrasi, khususnya yang berkaitan dengan daerah dengan menyerap aspirasi dan kepentingan daerah, serta memperjuangkan kepentingan masyarakat dan daerah kepada Pemerintah atau di tingkat nasional. Hal ini niscaya juga akan mendekatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dan antara masyarakat dengan pemerintah. Pada kelanjutannya akan dapat memupuk dan memperkuat perasaan akan manfaat pemerintah serta memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional. Bahwa DPD juga menunjukkan penguatan demokrasi dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain: Sistem pemilihan anggota DPD dilakukan secara langsung oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Selain itu, DPD sebagai perwakilan daerah menunjukkan akomodasi dan representasi wilayah artinya ada penyebaran perwakilan dari seluruh wilayah/provinsi di Indonesia.

Penguatan DPD tak perlu lagi dikaitkan dengan bentuk federalisme dengan sistem perwakilan bikameral. Memang benar bahwa banyak negara yang menganut federalisme menggunakan sistem perwakilan bikameral, tetapi juga banyak negara yang berbentuk negara kesatuan menganut sistem perwakilan bikameral. Penelitian yang dilakukan oleh IDEA hasilnya menunjukkan bahwa dari 54 negara demokratis yang diteliti terdapat 22 negara yang menganut sistem perwakilan unikameral, sedangkan sebanyak 32 negara memilih sistem bikameral. Banyak juga negara dengan bentuk negara kesatuan memilih sistem bikameral di samping juga ada yang memilih unikameral. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semua negara demokratis yang memiliki wilayah luas memiliki dua majelis (bikameral) kecuali Muzambique.

Dalam konteks Indonesia, yang memiliki wilayah sangat luas, terdiri dari ribuan pulau dengan tingkat heteroginitas tinggi, penduduknya banyak (empat besar di dunia), kiranya tidak salah jika Indonesia memilih sistem bikameral. Eksistensi DPD yang kuat ke depan harus dipertahankan, dan pilihan sistem perwakilan bikameral tidak perlu dikhawatirkan akan menuju federalisme. Tentu saja harus secara berlanjut dilakukan sosialisasi aturan sistem ketatanegaraan yang disepakati di samping juga menjaga dan memperkokoh jati diri bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika.

AMANDEMEN UUD 1945

Sejak berdirinya NKRI disadari sudah ada perwakilan daerah meskipun hanya berbentuk utusan daerah. Hal itu dipandang tidak memadai dan tidak efektif. Kehadiran DPD yang anggotanya dipilih secara langsung oleh rakyat diharapkan dapat menjadi perwakilan masyarakat dan daerah yang dapat secara optimal mencerminkan kedaulatan rakyat dan efektif dapat menghubungkan antara daerah dengan pemerintah serta membawa kepentingan daerah pada tingkat nasional. Namun, DPD masih banyak mengalami kendala yang diakibatkan adanya keterbatasan fungsi dan kewenangan untuk mewujudkan harapan masyarakat dan daerah.

Keterbatasan kewenangan DPD juga tidak sesuai semangat dan jiwa yang terkandung dalam maksud dan tujuan diadakannya DPD sebagai lembaga perwakilan daerah serta perwujudan prinsip check and balances. Berbagai upaya yang dilakukan, telah menunjukkan perkembangan dengan sinyal positif hubungan DPR dan DPD. Hubungan yang baik itu diharapkan akan wujud dalam kesederajatan dan kebersamaan DPR dan DPD dalam lembaga legislatif atas dasar prinsip check and balances dalam kerangka melaksanakan Pancasila, UUD 1945, koridor kokohnya NKRI yang berbhineka Tunggal Ika untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Atas dasar hal tersebut di atas dan dengan niat yang kuat untuk mengembangkan demokrasi modern berdasarkan konstitusi dalam tata kenegaraan, maka eksistensi DPD RI harus dipertahankan dan diperkuat kapasitas kelembagaannya sebagai badan legislatif.

Melalui DPD ini diharapkan hubungan dengan otonomi daerah dan pusat dan daerah,pembentukan,dan pemekaran serta penggabungan daerah ,pengelolaan sumber daya alam,dan sumber daya ekonomi lainnya,serta yang berkaitan dengan perimbangan keungan pusat dan daerah bisa berjalan dengan baik. Harus ada amandemen UUD 1945 terkait kewenangan legislasi DPD. Konkretnya bahwa DPD adalah lembaga legislatif, selayaknya memiliki kewenangan membuat undang-undang bersama DPR.

Tanpa ada perubahan terhadap UUD 1945, maka sesanter apapun aspirasi masyarakat dan daerah yang dikawal anggota DPD, tetap tidak mudah untuk ditindaklanjuti dan direalisasi. Dengan kata lain, tanpa adanya amandemen UUD 1945 terkait kewengan DPD, diprediksi nasib masyarakat dan daerah tidak akan berubah signifikan ke arah yang lebih baik, lebih sejahtera, dan lebih menguatkan NKRI.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.