Oleh: Umar Mubdi
Makam Wali Nyatoq sakral. Makam tersebut oleh masyarakat Suku Sasak di Pulau Lombok diyakini sebagai makam orang suci yang bernama, Sayyid Abdullah, penyebar agama Islam di bumi seribu masjid pada kitaran abad ke-16. Kesucian dan karomah-nya bahkan dipercaya masih terjadi hingga saat ini. Salah satunya adalah tanah dari Makam Nyatoq yang telah dicampur dengan air dapat menjadi sarana dalam menyelesaikan sengketa. Bahwa apabila ada seseorang yang berbohong telah melakukan suatu kejahatan dan berani meminum Aiq Nyatoq tersebut, maka akan ada petaka yang menimpanya. Tradisi atau ritual “pencarian kebenaran” itu kemudian dinamakan begarap.
Prosesi ritual begarap ini dimulai dari adanya laporan masyarakat yang berkepentingan bahwa telah terjadi sengketa/konflik semisal kehilangan barang akibat pencurian kepada pemangku adat/makam setempat. Kemudian pemangku adat akan melakukan pengumuman pelaksanaan begarap ke masyarkat dusun atau daerah yang dihendaki oleh pelapor. Pemangku adat akan mengambil tanah Makam Nyatoq yang terletak pada bagian tertentu lalu dicampurkan dengan air dan dirapalkan doa-doa. Air yang tercampur itu disebut aiq Nyatoq.
Penghukumannya berupa jika ia berani meminum aiq Nyatoq maka harus dinyatakan tidak bersalah dengan konsekuensi moral bahwa ketika berhobong akan datang malapetak yang akan menimpanya. Selanjutnya, apabila ia tidak berani meminum aiq Nyatoq tersebut maka ia dinyatakan bersalah untuk dijatuhi sanksi adat.
Pemaparan mengenai ritual dan tradisi di atas sesungguhnya dimaksudkan untuk menunjukkan eksistensi hukum tidak tertulis di tengah-tengah masyarakat. Ia hadir secara nyata dan dipraktekkan di masyarakat. Dalam bahasa yang spesifik, hukum tidak tertulis itu di masyarakat Sasak bernama awig-awig. Norma mengenai tata laksana dan prosedur proses begarap tersebut tidak tertulis di dokumen adat mana pun tetapi pelaksanaannya dari masa ke masa selalu dilakakukan dengan cara yang sama. Hal ini dikarenakan kesadaran masyarakat mengenai penegakan awig-awig masih dijunjung tinggi.
Selain dari sisi “formil” awig-awig, sisi “materiil” pun erat kaitannya dengan keadilan dan kepuasan dalam menyelesaikan suatu sengketa. Ini dapat dicermati dari pengalaman empiris masyarakat Sasak yang telah menggunakan proses begarap. Keputusan dari tradisi begarap lebih diterima oleh masyarakat daripada melalui proses pro justicia via pengadilan (L. Gingsir, 2017). Sehingga tidak berlebihan bila mengatakan bahwa norma awig-awig di masyarakat dilaksanakan secara efektif.
Awig-awig dalam pembacaan Eugen Ehrlich (1992) dapat dikemukakan menggunakan teori “Living Law Theori”. Dengan kata lain hukum itu tergantung dari fakta-fakta sosial dan tidak tergantung pada kewenangan negara (otoritas negara). Pusat dari grafitasi hukum itu terletak dalam tubuh (kehidupan) masyarakat dan diminimalkan dari legislatif. Dengan demikian, menurut Eugen Ehrlich bahwa hukum itu dapat ditemukan dari observasi dari kehidupan manusia itu sendiri. Seperti yang dikatakannya “The centre of gravity of legal development lies not in legislation nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself”.
Hukum semestinya digali dari kenyataan, nilai, dan kearifan yang berkembang di masyarakat. Sebab hukum tidak hadir di ruang kosong, melainkan hadir pada setiap sudut ruang sosial. Efektifitas hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama awig-awig, dapat dipahami dengan memetakan harmonisasi nilai antara antara cita hukum dengan fenomena nyata. Berdasarkan dari uraian di atas, hukum semestinya digali dari kenyataan, nilai, dan kearifan yang berkembang di masyarakat. Sebab hukum tidak hadir di ruang kosong, melainkan hadir pada setiap sudut ruang sosial. Efektifitas hukum yang hidup dalam masyarakat, terutama awig-awig (baca:begarap), dapat dipahami dengan memetakan harmonisasi nilai antara antara cita hukum dengan fenomena nyata (empiris).
Kegagalan dalam mewujudkan hukum yang efektif acapkali disebabkan oleh tidak kompatibelnya cita hukum yang terkandung dalam suatu norma hukum dengan keadaan sosial. Terutama dengan menggunakan dikotomi dalam pendekatan legal pluralism, yakni membagi antara hukum nasional dengan hukum tidak tertulis (hukum adat). Kehadiran hukum nasional dalam ruang sosial, dalam lingkungan masyarakat lokal, tak jarang menjadi beban bagi penerimanya (Bernard L. Tanya, 2006).
Dalam pembacaan Bernard L. Tanya dikatakan bahwa hukum nasional sebagai sistem formal yang dirancang secara sentral-nasional hadir dalam budaya lokal yang informal. Keduanya, tidak hanya merupakan produk konstruksi sosial dari dunia yang berbeda tetapi juga memiliki logika dan kondisi dasar berbeda. Namun demikian, meski terdapat kontradiksi yang tegas, baik hukum nasional yang diejawantahkan melalui proses legislasi dan hukum adat yang tidak tertulis, keduanya sama-sama memiliki inti cita hukum. Keduanya memiliki validitas norma hukum yang sama secara konseptual yakni cita/nilai hukum.
Hal penting yang harus dicatat kaitannya dengan validitas norma tersebut adalah eksistensi cita hukum, nilai-nilai dan pandangan hidup yang termuat dalam Pancasila. Pancasila sebagai cita hukum eksistensinya tidak hanya berupa cita-cita dalam angan-angan, tetapi telah mempunyai bentuk dan isi formal dan material untuk menjadi pedoman bagi hidup kenegaraan dan hukum Indonesia (Notonagoro, 1980). Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, baik hukum nasional dan hukum tidak tertulis sejatinya memuat validitas norma berupa cita hukum yang bersumber dari Pancasila. Persoalan yang kemudian muncul adalah di dalam proses dan prosedur pembentukan produk hukum terjadi transformasi, pemaknaan internal, serta aplikasi dari pembentuk norma terhadap norma yang hendak dibentuk. Subjek pembentuk norma hukum akan melakukan penafsiran Pancasila guna menyuntikkannya kepada produk hukum yang dibuat. Guna memahami hal di atas, persoalan tersebut akan bermuara pada dua hal. Pertama, presiden menafsirkan Pancasila dalam proses legislasi. Kedua, masyarakat menafsirkan Pancasila melalui hukum tidak tertulis (awig-awig).
Pasal 21 Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945) telah menggariskan bahwa presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang yang kemudian akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kewenangan atas proses legislasi itulah menjadi pintu bagi presiden di dalam melakukan penafsiran atas Pancasila. Namun demikian, Undang-Undang sebagai salah satu bentuk dari norma hukum, acapkali tidak berpihak pada nilai keadilan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketidakberpihakan tersebut, yang juga menjadi persoalan utama sistem hukum di Indonesia, terlihat dari tumpang tindihnya kewenangan yang diatur dalam undang-undang, inkonsistensi perundang-undangan, dan perumusan materi muatan dalam perencanaan perundang-undangan yang kurang jelas sehingga mudah diajukan yudisial review ke Mahkamah Konstitusi.
Sejumlah persoalan yang muncul dalam sistem hukum Indonesia niscaya akan menghambat fungsi daripada hukum itu sendiri. Fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial masyarakat (law as tool of social engineering) mengalami kemandekan bila berhadapan dengan inkonsistensi perundang-undangan. Di mana pada akhirnya perjuangan untuk mewujudkan keadilan di masyarakat pun sulit tercapai.
Begitu pula dengan fungsi hukum sebagai instrumen penyelesaian konflik. Bagaimana bisa kewenangan di dalam perundang-undangan yang tumpang tindih dapat digunakan sebagai instrumen penyelesaian konflik, apabila hukum sendiri sebagai sumber konflik itu. Ketidakjelasan norma bakal membingungkan pengemban hukum (justiciabelen) untuk mengetahui mana semestinya yang menjadi pedoman. Sehingga bentangan empiris di atas memberikan indikasi adanya ketidatepatan presiden di dalam menafsirkan, mentransformasikan, dan mewujudkan nilai-nilai Pancasila tersebut ke dalam produk hukum.
Atas dasar itu, penting kiranya untuk menengok kepada hukum tidak tertulis yang berkembang di masyarakat, agar mengetahui bagaimana efektifitas hukum itu diwujudkan. Di dalam tradisi begarap, misalnya, termuat nilai-nilai ketuhanan yang diimplementasikan melalui kepercayaan kepada kekuatan di luar kemampuan manusia, mengucapkan doa-doa keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebelum upacara tradisi, kemudian berpasrah atas kejadian yang menimpa korban. Selesai dilaksanakannya begarap, ungkapan maaf-memaafkan dan prasangka pun dihilangkan. Ketertiban masyarakat yang sempat terganggu akibat sengketa kembali pulih.
Nilai-nilai kemanusiaan turut tercermin di dalam prosesi itu. Hakikat dari proses begarap adalah untuk menemukan kembali barang yang hilang, bukan untuk menghukumi pelaku. Tata cara pelaksanaanya dilaksanakan secara ketat dengan mengedepankan sikap tindih, yang berarti sopan santun dan tata krama kepada semua orang, termasuk kepada yang diduga melakukan kejahatan. Termasuk juga nilai kemanusiaan, demokrasi, dan keadilan sosial yang kesemuanya dipraktikan secara nyata dalam tradisi begarap meminum Aiq Nyatoq tersebut. Sehingga tidak mengherankan apabila keberlakuan dan efektivitasnya di masyarakat berada pada tingkat yang tinggi.
Pertentangan antara hukum nasional dan hukum tidak tertulis berada pada level ketidakharmonisan cita hukum yang semestinya bersumber dari Pancasila. Kondisi yang ada di masyarakat, terutama terkait kualitas awig-awig yang dipatuhi secara tertib, menunjukkan koherensi antara nilai Pancasila dengan masyarkat. Secara tidak langsung masyarakat telah menafsirkan Pancasila secara efektif. Sehingga, penataan norma hukum nasional yang masih menyimpan persoalan patut untuk bercermin dari awig-awig.
Artinya, nilai-nilai pancasila harus ditransformasikan secara tepat dalam proses legislasi. Presiden harus menafsirkan Pancasila dalam proses legislasi dan mengawalnya secara konsisten. Sehingga efektivitas dan harmonisasi pembangunan hukum di Indonesia dapat terwujud.