Oleh : Yulianta Saputra
Latar Belakang
Salah satu kejahatan yang acap dialami oleh kaum perempuan adalah kejahatan asusila. Dari sekian banyak kejahatan asusila yang sering menjadikan kaum perempuan sebagai korbannya, yakni kejahatan perkosaan (verkrachting).[1]Era kontemporer ini, tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan (misdrijven) yang cukup mendapat atensi di kalangan masyarakat. Sering di surat kabar atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan.
Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana (delict, strafbaarfeit) ini sudah ada sejak dulu, atau dapat dikatakan sebagai suatu konfigurasi kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan kebudayaan manusia itu sendiri.Ia ada dan berkembang setiap saat walaupun mungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Di samping itu, tindak pidana perkosaan ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan (culture), kesadaran (consiousness) atau pengetahuan hukumnya (law awareness), tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai (value), tradisi (tradition), dan adat istiadat (custom).
Kalau ditarik lebih jauh, perempuan rawan menjadi korban kejahatan (victim of crime) perkosaan, salah satu anasirnya karena kedudukannya yang lemah.[2] Hal ini berarti pula bahwasanya tindak pidana perkosaan adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang merupakan contoh kerentanan posisi perempuan, aksentuasinya terhadap kepentingan seksual laki-laki.[3] Citra seksual perempuan yang telah ditempatkan sebagai obyek seksual laki-laki, ternyata berimplikasi jauh pada kehidupan perempuan, sehingga dia terpaksa harus selalu menghadapi kekerasan, pemaksaan dan penyiksaan fisik serta psikis.[4]
Berbagai penelitian di seluruh belahan dunia menunjukkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan sesuatu yang mengerikan bagi perempuan itu sendiri, dan merupakan menyebabkan kerugian fisik serta kesehatan reproduksi perempuan.Perhatian dan perlindungan terhadap kepentingan korban tindak pidana perkosaan, baik melalui proses peradilan pidana (litigasi/ajudikasi) maupun melalui sarana kepedulian sosial tertentu merupakan bagian mutlak yang perlu dipertimbangkan dalam kebijakan hukum pidana dan kebijakan-kebijakan sosial, baik oleh lembaga legislatif, eksekutif, yudisial, maupun oleh lembaga-lembaga sosial yang ada.
Berdasarkan tujuan (oogmerk) untuk mewujudkan pemerataan keadilan (justice) dan kesejahteraan umum, maka hak korban tindak pidana perkosaan untuk dilindungi pada dasarnya merupakan bagian integral dari hak asasi (human right, mensenrecht) di bidang jaminan sosial.[5]
Perkosaan dalam rezim hukum pidana (straafrecht), sejatinya termasuk kejahatan kesusilaan (misdrijven tegen de zeden), sebagaimana termaktub di dalam BukuII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), khususnya ketentuan Pasal 285. Pasal 285 KUHP mengatur tentang tindak pidana perkosaan (verkrachting) yang rumusannya sebagai berikut[6]:
Barangsiapa dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan memaksa seorang wanita mengadakan hubungan kelamin di luar pernikahan dengan dirinya, karena bersalah melakukan perkosaan dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya dua belas tahun.
Menurut formula Pasal 285 KUHP tersebut pula, telah tandas bahwasanya perkosaan adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap wanita di luar pernikahan dengan si pelaku.Dalam ketentuan Pasal 285 di atas, terdapat unsur-unsur untuk membuktikan ada atau tidaknya tindak pidana perkosaan, unsur-unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut:[7]
- Adanya kekerasan atau ancaman kekerasan;
- Memaksa seorang wanita;
- Bersetubuh di luar perkawinan (buiten echt) dengan dia (pelaku/dader).
Lebih jauh lagi, jika ditilik dari faktor musababnya, perkosaan terjadi karena berbagai jenis sebab. Galibnya dapat dibedakan dalam dua jenis yang berbeda, yakni faktor internal (yang berasal dari korban sendiri) ataupun faktor eksternal (yang berasal dari luar diri korban perkosaan). Namun kendati demikian, dari dua faktor yang dikemukakan tersebut dapat ditegaskan pada dasarnya seorang wanita menjadi korban perkosaan karena kondisi fisik maupun psikisnya yang lebih lemah dari pria (pelaku perkosaan).[8] Atas dasar kausa tersebut, tak pelak apabila dikatakan tindak pidanaperkosaan adalah perbuatanyang melanggar hak-hak asasi kaum perempuan. Korban perkosaan sangat membutuhkan perlindungan hukum (legal protection, rechtsbescherming) lantaran kedudukannya sebagai korban (victim) sekaligus saksi menempatkan korban perkosaan kepada situasi yang sangat pelik.
Mengingat penderitaan yang dialami oleh korban perkosaan, perlu dikaji mengenai bentuk-bentuk perlindunganapa saja yang dapat diberikan kepada korban perkosaan. Bentuk-bentuk perlindungan yang dapat diberikan bagi korban perkosaan tersebut diantaranya:
- Restitusi
Restitusi menurut Pasal 1 ayat (5) Peraturan Pemerintah (Pouvoir Reglementair) Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 adalah ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.[9]
Korban perkosaan berhak memperoleh restitusi karena perkosaan merupakan tindak pidana. Permohonan restitusi dapat diajukan oleh korban, keluarga, atau kuasanya dengan surat kuasa khusus secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai dan permohonan diajukan kepada pengadilan (court, rechtsspraak) melalui Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban.
Dalam hal ini (in casu) Restitusi dimaksudkan dan diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatansehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita korban.[10] Tolok ukur yang digunakan dalam menentukan jumlah restitusi yang diberikan tidak mudah dalam merumuskannya. Hal ini tergantung pada status sosial pelaku dan korban. Dalam hal korban dengan status sosial lebih rendah dari pelaku, akan mengutamakan ganti kerugian dalam bentuk materi, dan sebaliknya jika status sosial korban lebih tinggi dari pelaku maka pemulihan harkat serta nama baik akan lebih diutamakan.[11]
- Bantuan Medis dan Bantuan Rehabilitasi Psiko-sosial
Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sanksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, korban perkosaan juga berhak mendapatkan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial. Bantuan tersebut adalah layanan yang diberikan kepada korban dan/atau saksi oleh Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban. Permohonan bantuan medis dan bantuan rehabilitasi psiko-sosial dapat diajukan oleh korban, keluarga korban, dan kuasanya dengan surat kuasa khusus. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan di atas kertas bermaterai kepada Lembaga Perlindungan Sanksi dan Korban.
Di samping itu, perlu diperhatikan pula, hak-hak korban yang terdapat di dalam Pasal 5 Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sanksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah hak legal korban yang diberikan oleh undang-undang (wet), yang menyebutkan bahwa korban berhak untuk:
- Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
- Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan;
- Memberi keterangan tanpa tekanan;
- Mendapat penerjemah;
- Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
- Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
- Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
- Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
- Dirahasiakan identitasnya;
- Mendapat identitas baru;
- Mendapatkan tempat kediaman sementara;
- Mendapatkan kediaman baru;
- Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
- Mendapat nasihat; dan/atau memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir.
- Mendapatkan pendampingan.[12]
Korban di dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Pengertian Korban dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 adalah korban secara individual yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana yang menderita fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi.
Sedangkan, Arief Gosita dalam bukunya yang berjudul Masalah Korban Kejahatan ”Kumpulan Karangan, memberikan pengertian bahwa korban adalah:
Mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan hak asasi pihak yang dirugikan.[13]
Lebih lanjut bila dijumbuhkan ke dalam hukum positif Indonesia, dalam kasus perkosaan tentunya juga selalu memamakan korban, terlebih perkosaan itu sendiri merupakan suatu kejahatan seksual yang dampaknya amat berat dirasakan oleh perempuan yang menjadi korbannya.[14] Dalam hal ini korban perkosaan tidak hanya menderita jasmaninya karena adanya kekerasan yang medahului atau menyertai perkosaan itu, tetapi juga akan terlecehkan haknya sebagai perempuan karena adanya pemaksaan hubungan kelamin (vleselijke gemeenschap). Perkosaan juga akan meninggalkan trauma psikis berkepanjangan pada korbannya, belum lagi stigma masyarakat yang terus membayangi kehidupannya.
Atas dasar asumsi itulah, korban perkosaan membutuhkan pihak lain untuk membantunya pulih dari penderitaan. Dalam hal ini korban butuh perlindungan untuk menjamin korban dalam usaha pemulihannya. Adapun argumentasi dari urgensi atas perlindungan bagi korban perkosaan adalah;
- Karena sistem peradilan pidana Indonesia masih berpihak kepada pelaku (offenders oriented) dan belum memperhatikan hak-hak korban. Selama ini hukum pidana dalam implementasinya masih memperhatikan hak-hak tersangka dibandingkan hak-hak korban;
- Perbuatan pelaku telah membuat korban mengalami penderitaan ganda, yaitu penderitaan fisik dan psikis;
- Adanya perlindungan bagi korban membantu korban keluar dari permasalahannya atau memperingan penderitaan Korban merasa terbantu dengan adanya pihak lain yang memperhatikannya dan melindunginya;
- Para penegak hukum juga turut terbantu karena adanya perlindungan bagi korban menjadikan korban mau membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap kasus yang menimpa dirinya;
- Mencegah dan mengurangi adanya “dark number” dalam catatan para penegak hukum serta membantu para penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan, khususnya dalam hal ini kejahatan perkosaan;
- Karena stigma masyarakat yang mencap buruk perempuan korban perkosaan yang menjadikan korban semakin menderita;
- Perkosaan adalah kejahatan yang melanggar Hak Asasi Manusia karena melanggar hak asasi perempuan;
- Korban perkosaan jelas-jelas mengalami kerugian.
Selain itu, perlindungan terhadap korban perkosaan itu dapat memberikan faedah terhadap korban, faedah yang dapat diperoleh korban, di antaranya adalah:
- Korban terlepas dari penderitaan yang dialaminya, baik secara fisik maupun psikis;
- Korban merasa aman dari berbagai bentuk ancaman pelaku;
- Korban bersedia menjadi saksi tanpa merasa terbeban;
- Korban mempercepat penyelesaian kasusnya karena korban mau bekerja sama dengan aparat penegak hukum;
- Korban merasa ada yang memperhatikan penderitaannya sebagai korban perkosaan;
- Korban memperoleh kembali rasa percaya diri yang sempat terenggut akibat perkosaan tersebut;
- Masyarakat tidak lagi memberikan stigma kepada korban sebagai perempuan nakal yang pantas diperkosa;
- Korban memiliki harapan hidup kembali dan dapat menjalani hidup baru.
Korban perkosaan perlu mendapat perlindungan karena korban mengalami dampak yang sangat kompleks. Dampak yang dirasakan korban adalah penderitaan ganda yang meliputi penderitaan fisik, psikis, dan sosial. Penderitaan korban perkosaan dialami korban pada saat pra persidangan, selama persidangan dan pasca persidangan. Oleh karenanya korban perkosaan memerlukan perlindungan agar korban merasa aman dari segala bentuk ancaman dan untuk menjamin korban dalam usaha pemulihannya. Bentuk upaya perlindungan yang dapat diberikan kepada korban perkosaan adalah perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, junctis Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang pemberian Kompensasi, Restitusi, serta Bantuan Kepada Saksi dan Korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban). Bentuk-bentuk perlindungan tersebut meliputi: Restitusi, Bantuan Medis dan Bantuan Psiko-sosial.
Sosialisasi hak-hak korban kepada korban pemerkosaan harus dioptimalkan. Di samping itu, hendaknya para aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) beserta stakeholder terkait dalam memberi pelayanan dan perlindungan kepada perempuan korban perkosaan seyogyanya dilandasi dengan penuh empati dan rasa kemanusiaan.
[1]Octorina Ulina Sari, 2014, Upaya Perlindungan Korban Perkosaan, Ditinjau dari sudut pandang viktimologi, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 1.
[2]Ibid.,
[3] Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, 2001, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual : Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan, Bandung, Refika Aditama, hlm. 28.
[4]Leden Marpaung, 1996, Kejahatan Terhadap Kesusilaan dan Masalah Prevensinya, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 81.
[5] Lilik Mulyadi, 2004, Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi dan Viktimologi, Jakarta, Djambatan, 2004, hlm. 135.
[6] Moeljatno, 2005, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Jakarta, Aksara Baru, hlm. 103.
[7] Arif Gosita, 1987, Relevansi Viktimologi Dengan Pelayanan Terhadap Para Korban Perkosaan -Beberapa Catatan, Jakarta, Indhill Co, Jakarta, hlm. 12. Lihat juga dalam, R. Soesilo, 1988, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Dengan Pasal Demi Pasal, Bandung, Karya Nusantara hlm. 209.
[8] Suryono Ekotama, ST. Harum Pudjiarto, G. Widiartana, 2001, Abortus Provocatus Bagi Korban Perkosaan Prespektif Viktimologi, Kriminologi dan Hukum Pidana, cetakan pertama, Andi Offset, Yogyakarta, hlm. 79.
[9] Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Vide Pasal 1 ayat (5).
[10] Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana-Perspektif, Teoritis,dan Praktik, Alumni,
Bandung, hlm. 253-254.
[11] Rena Yulia, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan, Graha Ilmu, Yogyakarta. hlm. 180.
[12] Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Sanksi dan Korban juncto Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
[13]Arif Gosita, 1985, Masalah Korban Kejahatan ”Kumpulan Karangan“, Akademika pressindo, Jakarta, hlm. 79.
[14] Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 18.