Oleh: M. Fikri Alan
“Alam semesta cukup memberikan pangan. Ia hanya tidak pernah cukup melayani ketamakan manusia”
Mahatma Gandhi
Pendahuluan
Pemikiran mengenai tugas negara dalam mensejahterakan masyarakatnya, sebenarnya telah ada sejak negara ini pertama kali terbentuk. Hal ini dibuktikan melalui alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) yang semangat tersebut kemudian dijabarkan ke dalam Pasal 33 dan 34 yang menyatakan secara jelas bahwa adanya kewajiban penyelenggara negara untuk memajukan keseahteraan umum, dan menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat. Oleh karena itu, negara diberikan sebuah wewenang untuk mengatur dan mengurus sumber daya yang ada di seluruh wilayah Indonesia dalam rangka memajukan kemakmuran masyarakat tersebut. (I Gede Pantja Astawa dan Inna Junaenah, 2011)
Konsep negara kesejahteraan ini, sebenarnya juga mendorong agar negara tidak hanya berperan sebagai pengatur (reguleren), seperti dalam konsep negara penjaga malam. Namun, negara juga dituntut untuk mengurus dan memajukan kesejahteraan umum (bestuurzorg) masyarakatnya. Perluasan tugas negara tersebut ditujukan seluas-luasnya untuk menciptakan dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar bagi tiap-tiap warga negara.
Berangkat dari pemikiran ini, sebagai negara agraris yang sebagian besar masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani, maka negara berkewajiban untuk menyediakan setiap kebutuhan masyarakatnya terutama yang berkaitan dengan pengadaan faktor-faktor produksi pertanian. Salah satu faktor produksi yang penting tersebut adalah keberadaan tanah sebagai tempat berusaha para petani.
Kedudukan tanah yang sangat penting ini, kemudian dijabarkan melalui Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Berdasarkan pasal ini, jelas bahwa sebagai salah satu faktor produksi yang penting sebagai usaha pertanian, sekaligus bagian dari permukaan bumi, tanah harus digunakan sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat.
Permasalahan yang kemudian muncul berkaitan dengan tanah, terutama setelah masa kemerdekaan pada tahun 1945 adalah terdapatnya masalah kepemilikan tanah yang tidak proporsional, serta kebutuhan tanah pertanian yang semakin meningkat sementara jumlah penduduk yang terus bertambah. Dalam rangka mengatasi masalah tersebut, sebagai negara merdeka yang berdaulat penuh, Indonesia pun kemudian berusaha untuk mengatur kehidupan bernegara dengan mewujudkan hukum agraris nasional. (Artha Rumondang Siburian, 2009)
Berbagai upaya pun dilakukan demi terbentuknya hukum agraris secara nasional tersebut. Setelah melewati berbagai jalan yang panjang dan berliku, Bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan pembaharuan di bidang agraria pada tahun 1960, sebagai perwujudan dari Pasal 33 UUD NRI 1945. Hal ini dilakukan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Selanjutnya disebut UUPA) pada tanggal 24 September 1960.
Salah satu aspek hukum penting dengan diundangkannya UUPA tersebut adalah dicanangkannya program landreform di Indonesia. Pengaturan mengenai program landreform tersebut, diantaranya diatur dalam Pasal 7, 10, dan 17 UUPA. Pasal 7 UUPA menyatakan “Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan peguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan.” Dalam pasal ini, melarang apa yang sesungguhnya disebut sebagai groot grondbezitter (Budi Harsono, 1999) yaitu larangan pemilikan tanah yang melampaui batas atau disebut juga dengan istilah Latifundia. Larangan ini sebenarnya bertujuan mengakhiri dan mencegah bertumpuknya tanah di tangan golongan dan orang-orang tertentu. Pemilikan yang melampui batas tersebut dikhawatirkan menciptakan tuan-tuan tanah dan banyak hal negatif yang mungkin terjadi seperti naiknya biaya produksi, harga sewa yang terus meningkat, dan semakin bertambahnya petani gurem. Secara nasional jumlah petani gurem (petani dengan luas lahan < 0,5 ha) meningkat dari 10,8 juta pada tahun 1993 menjadi 13,7 juta rumah tangga pada tahun 2003, dengan rata-rata peningkatan sekitar 2,4 persen per tahun (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, 2005)
Salah satu agenda dari kegiatan landreform tersebut adalah adanya kegiatan redistribusi tanah. Redistribusi tanah adalah pembagian tanah-tanah yang dikuasai oleh negara dan telah ditegaskan menjadi objek landreform yang diberikan kepada para petani penggarap yang telah memenuhi syarat ketentuan Peraturan Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian. Tujuan hal ini adalah untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata pula. (Nurhayati, tanpa tahun)
Namun, pada dewasa ini, pengaturan mengenai landreform semakin ditinggalkan dan kemudian berakibat pada semakin tingginya tingkat kesenjangan kepemilikan tanah di Indonesia. Dengan tingginya tingkat kesenjangan kepemilikan tanah di Indonesia, maka semakin berdampak pula pada meningkatnya jumlah petani gurem di Indonesia, yang sesungguhnya hal ini telah ditakutkan oleh para pendiri bangsa ketika sejak pertama kali negara ini terbentuk. Dengan tidak meratanya akses terhadap sumber daya alam, tentu akan berdampak pula pada gagalnya frasa “sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat” akan dapat segera dipenuhi oleh negara karena tentu petani gurem tersebut tidak akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan jumlah tanah yang terbatas. Tulisan ini sedikit banyak akan membahas mengenai solusi konkret yang dapat dilakukan oleh Pemerintah, sebagai representasi dari negara, untuk mengatasi permasalahan mengenai rendahnya tingkat kesejahteraan petani di Indonesia tersebut.
Pembahasan
Sebagaimana telah disebutkan di atas, tanah memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, terutama masyarakat Indonesia. Sebagai negara yang mendeklarasikan diri sebagai negara yang mensejahterakan masyarakatnya, seharusnya negara juga menyediakan kebutuhan dasar masyarakat yang berupa tanah tersebut. Namun, nampaknya hal ini belum terlalu mampu dilakukan oleh negara. Penyusutan luas lahan pertanian masih terjadi di Indonesia, dan kemudian penyusutan tersebut merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi menurunnya kualitas hasil pertanian Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (selanjutnya disebut BPS) menunjukkan bahwa secara keseluruhan sejak tahun 2009, luas lahan pertanian terus mengalami penyusutan sebesar 0.1% tiap tahunnya. (BPS, 2010)
Penyusutan jumlah lahan pertanian ini juga menyebabkan petani yang terdaftar sebagai penduduk miskin Indonesia semakin banyak. Pada tahun 2003, jumlah petani yang termasuk ke dalam kategori miskin mencapai 24,3 juta jiwa. Demikian juga data persentase penduduk miskin usia 15 tahun keatas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 menunjukkan presentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah bekerja di sektor pertanian. (Euis Sunarti dan Ali Khomsan, tanpa tahun)
Penurunan kualitas hasil pertanian ini dapat dibuktikan melalui data pada kuartal 1 tahun 2014, dimana Indonesia tercatat telah mengimpor beras sebanyak 60,79 ton beras. Dari total jumlah tersebut, Thailand tercatat sebagai importir beras terbesar, kemudian berturut-turut disusul oleh India, Pakistan, Vietnam, kemudian Myanmar. Berdasarkan data tersebut, terlihat jelas bahwa negara-negara ASEAN telah menduduki perekonomian Indonesia, terutama dalam bidang pertanian dan pangan. (Fikri Ariyanti. 2015)
Hal ini tentu akan mengancam kondisi dan stabilitas perekonomian Indonesia. Apabila produk dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk dari luar negeri, maka Indonesia “hanya” akan menjadi pasar dari produk luar negeri yang dapat terus masuk dengan bebas ke dalam negeri tanpa adanya penghalang seperti bea masuk dan pajak. Untuk menghindari hal ini, dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif terutama dalam rangka meningkatkan kualitas produk pertanian dan pangan di Indonesia.
Berbagai upaya pengaturan sesungguhnya telah mulai dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (selanjutnya disebut UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani) sesungguhnya diharapkan menjadi salah satu alternatif solusi yang dapat dilakukan. Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebenarnya telah mengamanatkan bahwa adanya kewajiban bagi pemerintah untuk melakukan pembiayaan dan pendanaan dalam rangka perlindungan dan pemberdayaan petani dengan bersumber dari APBN. Namun, ketentuan ini dirasa masih belum cukup, megingat definis petani sebagaimana disebutkan pada pasal 1 UU tersebut, hanya menjelaskan bahwa petani adalah seluruh orang yang melakukan kegiatan usaha tani di bidang pagan, hortikultura, perkebunan, dan peternakan. Ketentuan tersebut tidak secara spesifik menyatakan bahwa kondisi petani yang seperti apa yang seharusnya mendapatkan bantuan pembiayaan.
Menurut penulis, seharusnya pembiayaan dilakukan terhadap petani gurem. Hal ini mengingat dengan kondisi ekonomi yang berkekurangan, serta didukung dengan modal produksi pertanian yang besar (pupuk, pengairan, tenaga kerja, dll) juga didukung dengan tidak adanya sistem pasar yang pasti yang mengakibatkan harga hasil panen terus mengalami fluktuasi, maka petani gurem seharusnya mendapat porsi yang lebih untuk mendapatkan bantuan pembiayaan.
Demi mendukung gagasan tersebut, seharusnya segera dikeluarkan kebijakan oleh pemerintah (Peraturan Pemerintah yang merupakan ketentuan pelaksana dari UU Nomor 19 tahun 2013 hingga sekarang belum dikeluarkan) untuk mengatur mengenai teknis pemberian pembiayaan kepada petani ini. Dengan demikian, ketika ada sistem pembiayaan yang jelas kepada petani gurem, maka diharapkan petani tersebut tidak menjual lahannya, untuk kemudian memanfaatkannya secara mandiri dan sungguh-sungguh, sehingga akan menguatkan kondisi pertanian dan pangan Indonesia.