Oleh : M. Fikri Alan
Pendahuluan
Sebagai penganut Negara Hukum yang demokratis, keberadaan Pemilihan Umum (selanjutnya disebut Pemilu) di Indonesia merupakan sebuah keharusan mutlak yang wajib untuk dilaksanakan. Menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) Pemilu tersebut haruslah diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Konsep ini diatur secara nyata dan tegas, di dalam Pasal 22E, dimana kemudian Pasal tersebut menjadi landasan yuridis tertinggi di dalam pengaturan mengenai Pemilu di Indonesia. Namun, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu), yang merupakan hasil penggabungan dari beberapa Undang-Undang terkait Pemilu (Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, serta Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD), pada kenyataannya masih menimbulkan beberapa kesalahan konsep, baik secara yuridis maupun teoritis, dan terutama pengingkaran atas UUD NRI 1945 itu sendiri. Kedudukan Undang-Undang, yang seharusnya berfungsi sebagai “ketentuan penjelas” dari norma-norma yang terkandung di dalam Konstitusi, pada kenyataannya tidak nampak dalam semangat UU Pemilu yang memang harus diakui kedudukannya sebagai salah satu bentuk pengaturan dari hasil kesepakatan politik. Ketidaksinkronan ini sesungguhnya berakibat bagi ditinggalkannya semangat konstitusionalisme di dalam pembangunan hukum nasional, lebih khusus pada hukum Pemilu. Lebih lanjut, tulisan ini akan memberikan kritik atas beberapa materi muatan penting yang diatur di dalam UU Pemilu tersebut, serta bagaimana solusi konkrit guna mengatasi permasalahan tersebut. Kritik tersebut diantaranya akan terbagi ke dalam 3 materi utama, pertama kritik atas pemberlakuan Presidential Treshold (PT) serta kritik dan solusi atas masa depan Penegakan Etika dalam Penyelenggaraan Pemilu.
Kritik Atas Pemberlakuan Presidential Treshold (PT)
Salah satu pengaturan yang menarik untuk dicermati dengan diundangkannya UU Pemilu adalah pengaturan mengenai Presidential Treshold (PT) atau ambang batas pengajuan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Pasal 222 UU Pemilu menyatakan:
Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional dalam Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Sesungguhnya, atas Undang-Undang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK), sebagai The Guardian of Constitution, telah mengeluarkan Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di dalam putusannya, MK secara jelas menyatakan bahwa Pemilihan Umum haruslah dilaksanakan secara serentak, dengan setidaknya 3 alasan utama. Pertama, Pemilu serentak akan menguatkan sistem presidensial, kedua secara original intent dan metode penafsiran sistematik, maksud asli dari frasa “Pemilu” di dalam konstitusi adalah “Pemilu untuk memilih DPR, Presiden dan Wakil Presiden, DPD, serta DPRD” sehingga tidak dimungkinkan bentuk Pemilihan “Khusus” yang terpisah satu dengan lainnya atas salah satu unsur penyelenggara negara tersebut, serta ketiga, pelaksanaan pemilu serentak akan lebih efektif dan efisien dalam hal pembiayaan, sehingga akan lebih menghemat uang negara. Lebih jauh, MK menyatakan:
“Praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Dalam praktiknya, model koalisi yang dibangun antara partai politik dan/atau dengan pasangan calon Presiden/Wakil Presiden justru tidak memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Pengusulan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh gabungan partai politik tidak lantas membentuk koalisi permanen dari partai politik atau gabungan partai politik yang kemudian akan menyederhanakan sistem kepartaian. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh UUD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh UUD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali” dan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, serta Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.
Ketentuan di dalam UU Pemilu terkait PT di atas memang tidak secara langsung dibatalkan oleh MK, karena melalui putusan tersebut MK “hanya” membatalkan pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang tidak dilaksanakan bersama dengan Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, sehingga secara konstitusional, pelaksanaan Pemilu yang demikian harus dibatalkan. Meskipun demikian, semangat Pasal 222 UU Pemilu yang mempertahankan PT di dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sesungguhnya tetaplah bertentang dengan semangat Putusan MK di atas.
Apabila dicermati, MK telah menyatakan secara jelas di dalam Putusannya bahwa koalisi yang selama ini diciptakan, yang kemudian melahirkan PT, tidak semakin memperkuat sistem presidensial yang selama ini dianut di dalam Konstitusi. Koalisi yang dibangun cenderung bersifat taktis pragmatis yang tidak mengedepankan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan bagi sebagian pihak maupun kelompok. Sehingga, ketentuan di dalam Pasal 222 UU Pemilu sesungguhnya bertentangan dengan Putusan MK, dan oleh karenya secara tidak langsung bertentangan dengan UUD NRI 1945 itu sendiri. Adapun argumentasi yang menyatakan bahwa pengaturan mengenai PT berdasar pada Norma Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 telah terbantahkan pula di dalam Putusan MK di atas. MK menyatakan:
“Berdasarkan pemahaman yang demikian, UUD 1945 memang tidak memisahkan penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres. Terkait dengan hal tersebut, pemilihan umum yang dimaksud frasa “sebelum pelaksanaan pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang selengkapnya menyatakan, “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum” adalah pemilihan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945. Maksud penyusun perubahan UUD 1945 dalam rumusan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 pada kenyataannya adalah agar pelaksanaan pemilihan umum diselenggarakan secara bersamaan antara Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan) dan Pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres).”
Berdasarkan putusan tersebut, Mk sesungguhnya ingin semakin memperjelas bahwa Pemilu yang ada di Indonesia hanya Pemilu sebagaimana dimaksud pada Pasal 22E UUD NRI 1945, dan Pemilu untuk Kepala Daerah. Tidak ada frasa di dalam UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa ada Pemilihan Umum, yang dilaksanakan “khusus” hanya untuk Pemilihan Legislatif, sebagaimana dimaksud pada Pasal 222 UU Pemilu. Artinya, frasa pada Pasal 6A UUD NRI 1945, juga mengacu pada ketentuan Pasal 22E, yang tidak membuka kemungkinan adanya Pemilu Khusus.
Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan mengenai ambang batas pengajuan Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan Pemilihan Umum DPR periode sebelumnya sebagaimana dimaksud pada Pasal 222 UU Pemilu adalah inkonstitusional dan oleh karenanya harus segera diganti. Tujuan penggantian ini, secara tidak langsung merupakan sebuah upaya untuk memperjelas bangun hukum dari Pemilu di Indonesia. Menurut Penulis, bahwa bangun hukum yang memang dikehendaki oleh Konstitusi sebagai norma dasar tertinggi yang diambil dari beberapa Putusan MK dan uraian di atas adalah sebagai berikut:
- Terdapat 2 Pemilihan Umum di Indonesia, yakni Pemilihan Umum untuk memilih Kepala Daerah, dan Pemilihan Umum untuk memilih Presiden, Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang masing-masing dilaksanakan secara serentak;
- Dalam seluruh Pemilihan Umum tersebut, tidak ada batas minimal pengajuan calon (baik Presidential Treshold maupun Parliamentary Treshold);
- Membuka kesempatan yang sama bagi calon independen untuk mengajukan diri di dalam setiap proses pelaksanaan Pemilihan Umum.