Konsistensi Regulasi dan Sanctity of Contract: Analisis Terhadap Iklim Investasi Hulu Migas di Indonesia

Oleh:

Giok Kinski

 

UU Migas No. 22/2001 mengatur bahwa industri hulu migas merupakan kegiatan yang bertumpu pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Iklim investasi pada industri hulu migas sendiri kian menurun dari tahun ke tahun. Hasil minyak bumi Indonesia saat ini sekitar 800 ribu barel per hari sementara kebutuhan mencapai 1,6 juta barel per hari, sehingga Indonesia saat ini bukan lagi termasuk Negara yang kaya minyak dan gas bumi (Setyadi, 2017). Penurunan produksi minyak dapat dikaitkan dengan investasi yang tidak mencukupi pada sektor ini (Rumbaugh, 2012). Tanpa investasi, produk minyak diperkirakan terus menurun menjadi hanya 389 ribu barel perhari pada 2020 (Dharmasaputra, et. al., 2014).

Penyebab dari fenomena ini tidak lepas dari andil pemerintah dalam menerbitkan regulasi yang kerap berubah-ubah dan bertentangan dengan kontrak hulu migas yang sudah ditandatangani oleh kontraktor. Kontrak ini dikenal dengan sebutan Kontrak Bagi Hasil/ PSC (Production Sharing Contract). Tak jarang, PSC yang sudah berjalan harus disesuaikan dengan kewajiban-kewajiban tambahan yang diundangkan oleh pemerintah. Hal tersebut menunjukan bahwa selama ini PSC tidak mencerminkan regulasi pemerintah. Apakah ini berarti bahwa pemerintah tidak konsisten dalam menerbitkan regulasi? Bagaimana dampaknya terhadap iklim investasi hulu migas?

Sebagai contoh, terobosan terbaru pemerintah dewasa ini adalah PSC dengan skema gross split yang diundangkan melalui Permen ESDM No. 8/2017. PSC Gross Split dipandang kurang menarik bagi investor. Karena PSC tersebut menggunakan satu jenis pembagian langsung dari pendapatan bruto (single-split). Hal tersebut hampir dapat dipastikan kontrak tersebut tidak akan berlangsung langgeng, karena selalu akan menghasilkan situasi win-lose (Lubiantara, 2012). PSC Gross Split menjadi contoh tantangan bagi investor dan iklim investasi di Indonesia.

Dalam hukum positif Indonesia, makna sanctity of contract terkandung dalam pasal 1338 KUHPer. Konsep atas sanctity of contract menunjukan bahwa kontrak merupakan hasil dari ‘ekspektasi yang wajar’ dari para pihak yang harus dihormati dan dilindungi dari pelanggaran (Al Faruque, 2005). Konsep ini didasarkan pada nilai ekonomi atas transaksi bisnis bahwa kegiatan ekonomi yang efektif tidak mungkin terwujud tanpa adanya penegakan atas kesepakatan yang sudah diperjanjikan dalam suatu kontrak (Al Faruque, 2005). Maka, menjadi penting untuk menegakkan penghargaan atas sanctity of contract untuk kelancaran berbagai industri, terutama dalam konteks penulisan ini adalah industri hulu migas.

Sanctity of Contract dalam PSC Gross Split

Dalam hal terjadi pertentangan antara ketentuan yang diatur dalam regulasi pemerintah dan PSC, maka regulasi pemerintah yang akan berlaku. Hal ini dikarenakan dalam klausul PSC, pilihan hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia, sehingga saat terjadi pertentangan maka peraturan pemerintah akan mengesampingkan ketentuan yang diatur dalam PSC. Tak jarang pertentangan tersebut mereduksi hak-hak kontraktor yang telah disepakati dalam PSC.

Seperti halnya pada pasal 24 (1) Permen ESDM No. 8/2017 yang mengatur bahwa Wilayah Kerja yang berakhir dan tidak diperpanjang diberlakukan PSC Gross Split. Maka artinya skema PSC konvensional yang sebelumnya diterapkan pada Wilayah Kerja tersebut akan dirubah menjadi skema PSC Gross Split. Contoh tersebut menunjukan bahwa terdapat beberapa aspek dimana pemerintah sebagai regulator dapat mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang akan mengerosi ketentuan Kontrak Bagi Hasil (Priamoko, 2017).

Berkaitan dengan aspek keseimbangan para pihak dalam PSC, kontraktor menjadi tidak berdaya. Hal ini karena pemerintah memiliki bargaining power yang lebih besar dengan berlandaskan pasal 33 (3) UUD yang menyatakan bahwa kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Negara mempunyai kedaulatan dalam mengelola sumber daya alam termasuk migas, akibatnya kontraktor dibatasi oleh regulasi. Oleh karenanya, perlu dicari suatu keseimbangan antara kepentingan negara dan investor supaya kontrak migas yang bersifat jangka panjang ini menjadi langgeng (Lubiantara, 2012).

Selanjutnya, mengenai kedaulatan pemerintah untuk menerbitkan regulasi, bagaimana dengan penghargaan terhadap sanctity of contract yang terkandung dalam PSC? Bukankah perjanjian dalam PSC juga berlaku sebagai hukum bagi para pembuatnya sebagaimana diakui dalam pasal 1338 KUHPer? Kata sanctity menyiratkan elemen moral, bahwa para pihak seharusnya melakukan apa yang sudah diperjanjikan karena sudah berjanji secara resmi (Fisher dan Greenwood, 2007) dan Indonesia memiliki rekam jejak yang buruk terhadap sanctity of contract (International Business Publications, 2015).

Realitasnya, penghargaan terhadap sanctity of contract sangat krusial khususnya dalam tahapan kegiatan eksplorasi. Eksplorasi merupakan kegiatan yang mengandung risiko sampai 100% seluruh dana yang dipakai adalah sepenuhnya disediakan oleh investor dan apabila tidak diketemukan cadangan migas komersial, seluruh risiko ditanggung oleh investor (Padmosukismo, 2008). Tingkat risiko yang tinggi itulah menyebabkan negara-negara pemilik cadangan migas mengundang perusahaan minyak internasional untuk berinvestasi dan mengambil alih risiko tersebut (Priamoko, 2017).

Posisi Fleksibilitas Para Pihak

Sanctity of contract sangatlah penting, tapi bukan berarti mutlak (Erkan 2011). Patut dicatat, dalam keadaan tertentu, sanctity of contract dapat diderogasi. Apabila sanctity of contract ini tidak dapat diderogasi atau dengan kata lain dipaksakan, hal tersebut akan membuat kontrak tersebut menjadi tidak adil dan memberatkan salah satu pihak (Erkan, 2011). Sehingga, menjadi penting bagi para pihak untuk mencari fleksibilitas pada tingkat tertentu (Salacuse, 2013). Fleksibilitas dalam konteks ini dapat berupa bentuk kompromi dari masing-masing pihak untuk menegosiasikan kembali syarat dan ketentuan dalam kontrak tersebut. Dengan re-nogosiasi, para pihak dapat melakukan negosiasi kembali mengenai hasil kontrak yang tidak efisien (Gibbons dan Roberts, 2013).

Tidak adanya penghargaan terhadap sanctity of contract akan menurunkan minat investor untuk menanamkan modalnya di industri hulu migas yang penuh dengan risiko dan ketidakpastian. Hal ini mengingat bahwa kecilnya bargaining power yang dimiliki investor dan besarnya kewenangan pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang absolut/mutlak. Maka demi terciptanya iklim investasi yang kondusif, pemerintah boleh saja mengeluarkan regulasi atas kekayaan alamnya tapi konsiderasi yang cukup juga diperlukan untuk mengakomodir kepentingan investor terkait.

 

Referensi:

Abdullah Al Faruque. (2005). Doctoral thesis: Stability in petroleum contracts –rhetoric and reality (Lessons from the experiences of selected developing countries and economies in transition (1980-2002). Dundee: University of Dundee, 70,71. Available at: https://discovery.dundee.ac.uk/ws/portalfiles/portal/1163365/Al+Faruque_phd_2005.pdf

Benny Lubiantara. (2012). Ekonomi Migas –Tinjauan Aspek Komersial Kontrak Migas. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 180,29.

Didik S Setyadi. (2017). Aspek Hukum Administrasi Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi. Surabaya: Sahabat Mandiri, 6.

International Business Publications. (2015). Indonesia Rubber and Rubber Products Manufacturing, Export-Import and Business Opportunities Handbook. Washington D.C.: Global Investment Center, 54. Available at: https://books.google.co.id/books?id=7w6XCwAAQBAJ&pg=PA54&dq=indonesia+poor+track+record+on+contract+sanctity&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiMx7mrhIXeAhUHRo8KHbGVBtUQ6AEINDAC#v=onepage&q=indonesia%20poor%20track%20record%20on%20contract%20sanctity&f=false

Jeswald J. Salacuse. (2013). The Three Laws of International Investment –National, Contractual, and International Frameworks for Foreign Capital. Oxford: Oxford University Press, 281. Available at: https://books.google.co.id/books?id=K3toAgAAQBAJ&pg=PA281&dq=consequently,+one+can+argue+that+a+certain+degree+of+flexibility+is+a+second+imperative+that+the+project+contracting+project+should+seek&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi6-Om36YTeAhUbbn0KHasUBv8Q6AEIKTAA#v=onepage&q=consequently%2C%20one%20can%20argue%20that%20a%20certain%20degree%20of%20flexibility%20is%20a%20second%20imperative%20that%20the%20project%20contracting%20project%20should%20seek&f=false

Metta Dharmasaputra, et., al. (2014). Wajah Baru Industri Migas Indonesia –Potret Industri Hulu Minyak dan Gas Nasional di Era Orde Lama, Orde Baru, dan Lanskap Baru Pasca Reformasi. Jakarta: PT Katadata Indonesia, 23.

Michael J. Fisher dan Desmond G. Greenwood. (2007). Contract Law in Hong Kong. Aberdeen: Hong Kong University Press, 6. Available at: https://books.google.co.id/books?id=NaanpMKQy5EC&pg=PA341&dq=define+sanctity+of+contract&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiW2dKQ2ITeAhUHPY8KHUReCzYQ6AEIKTAA#v=onepage&q=sanctity&f=false

Mustafa Erkan. (2011). International Energy Investment Law –Stability through Contractual Clauses. Alphen aan den Rijn: Kluwer Law International, 191-192. Available at: https://books.google.co.id/books?id=OJYCgIXg7NAC&pg=PA191&dq=importance+of+contract+sanctity&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwi29o6k4YTeAhVGpI8KHXtIC10Q6AEIQzAF#v=onepage&q=importance%20of%20contract%20sanctity&f=false

Nugroho Eko Priamoko. (2017). Kontrak Bagi Hasil Migas –Aspek Hukum dan Posisi Berimbang Para Pihak. Yogyakarta: Genta Publishing, 221, 10, 132, 187.

Robert Gibbons and John Roberts. (2013). The Handbook of Organizational Economics. New Jersey: Princeton University Press, 135. Available at: https://books.google.co.id/books?id=oefuRkdcNSsC&pg=PA135&dq=the+parties+may+be+able+to+renegotiate+the+contractual+outcome+when+it+is+inefficient.&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwie7eLr94TeAhVMpY8KHUP7A-cQ6AEIKzAA#v=onepage&q=the%20parties%20may%20be%20able%20to%20renegotiate%20the%20contractual%20outcome%20when%20it%20is%20inefficient.&f=false

Suyitno Padmosukismo. (2012). Politik, Hukum dan Industri –Politik Hukum Pengelolaan Migas Indonesia Dikaitkan dengan Kemandirian dan Ketahanan Energi. Jakarta: Indonesia Berdikari, 80.

Thomas Rumbaugh. (2012). Indonesia: Sustaining Growth During Global Volatility. Washington, D.C.: International Monetary Fund, Chapter 3. Available at: https://books.google.co.id/books?id=YAXgQof8hJEC&printsec=frontcover#v=onepage&q=significant&f=false

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.