Oleh: Andri Mahakam
Pemerintah sebagai penguasa yang sah atas seluruh wilayah Indonesia berkewajiban untuk memberikan pemenuhan atas rasa keadilan dalam masyarakat. Akses terhadap keadilan ini berupa penyediaan lembaga peradilan dan penegakkan hukum yang dapat dijangkau oleh mayrakat. Tapi, pada kenyataannya kemampuan negara untuk memberikan acces to justice(akses terhadap keadilan)pada masyarakat tidak sebanding dengn wilayah Indonesia yang begitu luas dan wilayah Indonesia yang begitu luas.Hingga saat ini, masih sulit bagi pemerintah untuk untuk meberikan acces to justice ini kepada seluruh masyarakat Indonesia.
Permasalahan acces to justice ini umumnya dilatarbelakngi oleh keterbatasan distribusi lembaga peradilan di Indonesia. Hal ini terutama dialami di daerah yang masih terpencil dan jauh dari pusat kota. Dalam masyarakat tradisional (indigineous people) tertentu juga dapat ditemukan bahwa lembaga peradilan negara tidak memenuhi rasa keadilan dengan standar mereka. Masyarakat tradisional baik yang sudah berbentuk masyarakat hukum adat (MHA) ataupun yang belum meiliki status sebagai MHA merupakan penduduk asli daerah-daerah di Indonesia sering kali mempunyai standar keadilannya sendiri. Standar keadilan inilah yang sering kali dalam konflik-konflik yang sifatnya internal dalam wilayah atau komunitas masyarakat tradisional tersebut.
Dalam konstruksi hukum Indonesia masyarakat tradisional yang diakui sebagai subjek hukum adalah masyarakat tradisional yang sudah mempunyai status sebagai Masyarakat Hukum Adat. Pengakuan terhadap MHA telah diamanatkan oleh para pembentuk konstitusi dalam pasal 18 B ayat (2) UUD NRI 1945 yang berbunyi ,
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-haktradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
Peradilan Adat merupakan salah satu solusi dalam memberikan Acces to Justice kepada masyarakat terutama MHA. Peradilan Adat merupakan lembaga organik yang merupakan kesatuan dari sistem hukum adat. Karena sifatnya yang memang organik lagir dari suatu sistem adat maka penerimaan atas putusan pengadilan adat akan lebih mudah untuk diterima oleh MHA karena menggunakan standar nilai yang hidup dalam khazanah lokal. Hal ini sejalan dengan adagium yang Sicero, “Ubi Societis Ibi Ius”. Dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Adakalanya terjadi hubungan-hubungan diantara para individu yang akhirnya menyebabkan pelanggaran terhadap hukum adat. Maka dalam keadaan seperti inilah peradilan adat masuk mengisi ketidakmampuan negara dalam menyediakan acces to justices negara di wilayah-wilayah masyarakat hukum adat.
Dengan diakuinya peradilan adat dalam MHA tidak berarti negara telah lepas tangan dalam kewajibannya untuk menjaga ketertiban masyarakat. Adanya pengakuan terhadap peradilan adat justru merupakan intensif kepada MHA yang mana memperkuat rekognisi (pengakuan) dari negara terhadap MHA. Pengakuan yang diberikan oleh negara kepada hukum adat tidak artinya apabila hukum adat tersebut tidak memiliki mekanisme penegakan hukum yang berpedoman pada sistem hukum adat. Oleh karena itulah penting untuk kemudian melihat pengakuan peradilan adat ini dari prespektif MHA selaku penerima otoritas lembaga peradilan. Malahan, bisa jadilama-kelamaan apabila tidak ada penegakan hukum adat berbasis pada mekanisme peradilan adat, hukum adat akan kehilangan kewibawaannya dan akan menjadi hilang karena tidak ada lagi masyarakat yang tunduk pada hukum adat.
Dalam ranah teori, salah satu dasar dari berlakunya hukum secara sosiologis dalam masyarakat adalah karena adanya paksaan dari penguasa, terlepas dari diterima atau tidaknya hukum oleh masyarakat[1]. Peradilan selain mengusahakan agar hukum adat dipatuhi oleh masyarakat adat, ia juga berfugsi sebgai lembaga yang menjaga kewibawaan hukum adat. Permasalahannya kemenudian adalah akan sangat sulit untuk menjaga kewibawaan hukum adat ketika lembaga peradilan adat yang menegakkan hukum adat tidak diakui oleh negara.
[1] Sudikno Metokusumo, Mengenal Hukum, 2007, Liberty: Yogyakarta hlm: 95
Pada zaman penjajahan, mekanisme peradilan adat diakui dengan dikeluarkannya Stb 1932 No. 80 tahun 1932. Dari sini kita bisa melihat bangsa Belanda yang maju dalam bidang hukum tetap memberikan ruang bagi pengadilan adat untuk berkembang. Namun pada tahun tahun 1951 peradilan adat ini dihapuskan dengan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Penghapusan ini didasarkan oleh kondisi internal indonesia yang mengalami kesemrawutan dalam bidang peradilan yang mana terdapat perbedaan sistem peradilan yang bertentangan dengan unifikasi hukum. Alasan ini dapat kita lihat dalam konsideran UU No.1 Drt Tahun 1951 yang menyatakan bahwa perlu diadakan peraturan tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan. kekuasaan dan acara pengadilan-pengadilan sipil. Kesemwrawutan ini disebabkan karena Indonesia saat itu melakukan transisi dari negara serikat menjadi negara kesatuan. Maka sepatutya ketika struktur kekuasaan kehakiman di Indonesia sudah jelas seperti sekarang, pengadilan adat seharusnya dapat diakui kembali. Terlebih, UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951 ini sifatnya hanya merupakan tindakan sementara yang seharusnya apabila keadaan sudah kondusif maka peraturan-peraturan dalam UU ini dicabut.
Walaupun saat ini UU No.1 Drt Tahun 1951 belum dicabut. Pada kenyataannya, disebagian daerah mekanisme peradilan adat telah diakui oleh pemerintah daerah. Contohnya bisa kita lihat pada Kerapatan Adat Nagari di Sumatera Barat. KAN diakui dengan Perda Sumatera Barat No.13 Tahun 1983 tentang Nagari sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum jo. Perda Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari jo. Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Nagari. Engakuan lainnya dapat juga kita lihat di Kalimantan Tengah dan di Papua Barat dalam Undang-Undang Otsus Papua.
Tidak diakuinya keberadaan Peradilan adat oleh negara dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat adat yang tetap teguh menggunakan hukum adat dalam kehidupan sehari hari. Dalam konteks masyarakat hukum adat, hukum yang berlaku dalam kehidupan sehari hari adalah norma-norma masyarakat hukum adat setempat. Hukum positif memndang hubungan suami istri antara wanita dan pria yang bukan suami istri atas dasar suka sama suka sebagai tindakan yang legal, tapi bisa jadi perbuatan sebagaimana tersebut merupakan tindakan yang tercela dan merusak norma-norma dan ketertiban umum dalam MHA sehingga para pelakunya diberi sanksi adat karena melawan norma-norma sosial MHA. Ini dapat terjadikarena standar nilai yang digunakan MHA yang sifatnya lokal dan terbatas, lebih kompleks daripada hukum nasional yang harus mengakomodir semua jenis kepentingan dan norma.
Di sisi lain putusan pengadilan adat yang telah diterima oleh para pihak yang bersengketa kadangkala tidak diindahkan aparatur penegak hukum pemerintah. Kejadian seperti ini terutama terjadi pada kasus-kasus yang mencakup perbuatan pidana. Contohnya adalah kasus-kasus seperti pembunuhan yang telah diselesaikan dengan putusan pengadilan adat. Kasus ini masih dapat dibawa oleh polisi ke jalur litigasi dengan dalil hukum yang dilanggar adalah hukum publik. Padahal, kedua pihak sudah menerima putusan Peradilan adat tersebut. Hal seperti ini dapat menyebabkan rasa tidak tenang masyarakat karena sewaktu waktu perkaranya bisa diajukan lagi ke pengadilan negarawalaupun kenyataannya sudah diselesaikan melalui mekanisme peradilan adat. Oleh karena itu negara harus mengakui dan memberikan status yang jelas terhadap perdilan adat di Indonesia demi terwujudnya kepastian hukum.