Oleh: Fikri Alan[1]
“Indonesia di masa datang mau menjadi negeri yang makmur, supaya rakyatnya dapat serta pada kebudayaan dunia dan ikut serta mempertinggi peradaban. Untuk mencapai kemakmuran rakyat di masa datang, politik perekonomian mestilah disusun di atas dasar yang ternyata sekarang, yaitu Indonesia sebagai negeri agraria. Oleh karena faktor produksi yang terutama, maka hendaknya peraturan milik tanah memperkuat kedudukan tanah sebagai sumber kemakmuran bagi rakyat umumnya.”
(Mohammad Hatta, 1943)
[1]Penulis adalah Mahasiswa Hukum Agraria dan Lingkungan Magister Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2017
Pada berbagai kesempatan, Presiden Joko Widodo menyampaikan komitmennya untuk terus meningkatkan pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pembangunan tersebut menurut beliau adalah sebagai landasan dan upaya konkrit dari pemerintah untuk meningkatkan pembangunan ekonomi secara nasional. Diharapkan, dengan adanya pembangunan ekonomi yang terus meningkat, maka kesejahteraan sosial sebagaimana selama ini diimpikan dapat segera terwujud. Tulisan ini sedikit banyak akan mengulas mengenai sinkronisasi dan insinkronisasi antara aspek pembangunan hukum yang berkeadilan dan konsekuen, dengan upaya untuk melakukan pembangunan ekonomi.
Insinkronisasi antara hukum dengan pembangunan ekonomi, sesungguhnya selalu terlihat jelas dalam proses penegakan hukum itu sendiri. Salah satu contoh lemahnya penegakan hukum ketika dihadapkan dengan proses pembangunan ekonomi adalah dalam bidang penegakan hukum agraria, yang diantaranya adalah permasalahan mengenai alih fungsi tanah.Secara normatif, ketentuan mengenai penegakan hukum tentang alih fungsi tanah, terutama tanah pertanian tidak dapat dilepaskan dari ketentuan dalam hukum agraria nasional. Semangat hukum agraria nasional sebagaimana termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang secara jelas menyebutkan bahwa tanah pada asasnya memiliki beberapa prinsip, yang diantaranya adalah prinsip bahwa tanah harus dikuasai dan tidak boleh dimiliki oleh seseorang dengan jumlah yang melebihi batas, prinsip bahwa tanah harus dikerjakan dan diusahakan secara mandiri oleh pemiliknya, serta prinsip tidak diperkenankannya bentuk eksploitasi yang berlebihan dengan dalih mengusahakan tanah.
Pada kenyataannya, proses alih fungsi atas tanah pertanian menjadi tanah perkebunan maupun permukiman dan properti misalnya, justru menimbulkan konflik agraria yang berkepanjangan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip UUPA tersebut. Hal yang demikian tidak jarang justru merugikan para korban konflik agraria yang seringkali dirasakan oleh masyarakat tak bertanah, petani penggarap dan petani kecil, maupun petani gurem.Sehingga, penegakan hukum itu sendiri menjadi tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan substantif bagi seluruh rakyat, terutama rakyat yang miskin dan memiliki posisi tawar yang rendah di depan upaya memajukan perekonomian nasional.
Belum lagi hal yang demikian ketika dikaitkan dengan isu-isu lingkungan dan keanekaragaman hayati. Sebagaimana dilansir Kompas, sebesar 70 persen ruang hidup gajah Sumatra (Elephas Maximus Sumatramus) dinyatakan telah lenyap sebagai akibat dari alih fungsi lahan hutan alam dalam kurun waktu 30 tahun terakhir. Gajah Sumatra, divonis telah kehilangan kurang lebih 15 juta hektar habitatnya yang menyebar pada kawasan Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Konservasi, dan Hutan Lindung. Keseluruhan hutan tersebut, sebagian besar telah beralih fungsi menjadi monokultur akasia, karet, tambang, kebun sawit liar, permukiman, dan jalan.
Selain permasalahan mengenai proses penegakan hukum, insinkronisasi antara hukum dengan proyek pembangunan yang sering terjadi adalah proses pembuatan hukum itu sendiri yang memang menghendaki adanya “kemudahan-kemudahan” bagi proses pembangunan ekonomi. Sebagaimana dilansir oleh Kompas, saat ini Kementerian Perekonomian sedang berusaha untuk mencabut pajak penjualan properti sebesar 5 persen sebagaimana diatur menurut Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008. Pencabutan ini tentu bertujuan untuk menurunkan biaya ekonomi, sehingga kemudahan usaha di Indonesia semakin membaik, dan tentu saja pertumbuhan ekonomi juga akan semakin meningkat pula. Kita juga tentu masih ingat betul bagaimana Presiden Joko Widodo senantiasa mengatakan bahwa setiap aturan yang dibuat tidak boleh menghambat upaya pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan uraian tersebut, maka sesungguhnya terlihat jelas bahwa adanya insinkronisasi atau ketidaksesuaian antara hukum yang berkeadilan dan pembangunan ekonomi. Terkadang keduanya selaing bertolak belakang karena menghendaki kedua hal dan tujuan yang berbeda. Dan tidak jarang pula hukum dikalahkan, sehingga pembuatannya jauh dari nilai-nilai ideal, dengan tujuan untuk “memenangkan” pertumbuhan ekonomi.
Hukum memang berkedudukan sebagai alat. Alat untuk mengatur setiap kehidupan bernegara dan bermasyarakat, untuk mewujudkan cita-cita bernegara yang telah ditentukan. Kedudukan hukum yang demikian, sesungguhnya memungkinkan pembuatan hukum yang sedemikian rupa, sehingga memudahkan kepentingan yang ingin dituju tersebut. Ekonomi memang dapat menjadi salah satu tujuan pembentukan hukum, dikarenakan pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk memajukan sebesar-besar kehidupan rakyat juga menjadi salah satu tujuan bernegara.
Namun, permasalahan yang muncul adalah apakah dapat dibenarkan, dengan berdalih pada upaya untuk memajukan perekonomian, kemudian mengorbankan kawasan hidup dan habitat gajah misalnya. Lalu dapatkah dibenarkan pula bahwa dengan dalih mengejar pertumbuhan ekonomi, dilakukan alih fungsi lahan pertanian secara besar-besaran menjadi tanah perkebunan sehingga justru merugikan kepentingan para petani kecil dan tak bertanah. Dapatkah pula dibenarkan dengan mengejar kemudahan berinvestasi, menurunkan biaya pajak, padahal pada kenyataannya uang pajak tersebut seharusnya diserap secara maksimal, sehingga dapat digunakan untuk membangun, memberikan subsidi pendidikan, kesehatan, bahkan kesejahteraan seluruh masyarakat.
Sesungguhnya perlu dilakukan sinkronisasi antara pembangunan hukum yang berkeadilan, dengan pembangunan ekonomi. Hukum memang berkedudukan sebagai alat untuk memacu pertumbuhan ekonomi, namun hukum, baik proses pembentukan maupun pelaksanaannya tidak boleh dilepaskan dari tujuan pembentukannya yang diantaranya meliputi keadian, kemanfaatan dan bahkan kebahagiaan bagi seluruh rakyat. Janji pemerintah untuk selalu hadir dalam setiap kehidupan benegara dan bermasyarakat tidak boleh hanya diwujudkan dalam bentuk pembangunan ekonomi, yang pada kenyataannya “hanya” berpihak pada kepentingan pemilik modal besar. “Kehadiran” negara juga harus diwujudkan dalam bentuk keadilan dan kepastian hukum yang mempu membahagiakan seluruh rakyat dan lingkungan secara merata, bukan hanya pada segilintir orang dan para pemilik kepentingan semata.
Pada akhirnya, Indonesia seharusnya menjadi tempat yang memakmurkan masyarakatnya, dengan menghadirkan Negara pada setiap sendi kehidupan bernegara. Negara harus mampu mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat, terutama kebutuhan akan hukum yang berkeadilan dan pembangunan ekonomi yang memakmurkan. Keduanya harus berjalan beriringan, demi mewujudkan sebagaimana yang dicita-citakan oleh Muhammad Hatta, sebuah Negeri Agraris yang memakmurkan rakyat pada umumnya.
Pertanyaannya, sanggupkah hal itu terwujud? Semoga.