Pola Penguasaan Tanah Pertanian dan Liberalisme Indonesia

Oleh: M. Fikri Alan

 Liberalisme Tanah Sebelum Kemerdekaan

Pada saat sebelum kemerdekaan, sistem ketatanegaraan Indonesia menempatkan Raja sebagai pusat ketatanegaraan. Dengan kedudukan ini, raja tentu berhak untuk mengatur seluruh kehidupan di daerah kekuasaannya. Karena begitu luasnya kekuasaan raja tersebut, raja kemudian membentuk sebuah kops hamba kerajaan (abdi dalem) yang bertugas untuk menghubungkan antara aspirasi rakyat agar bisa tersalurkan kepada raja. Para hamba kerajaan tersebut sering disebut sebagai priyayi (yayi=adik raja) dan kedudukannya dibedakan dari kaum atau wong cilik lainnya. Dalam melaksanakan kegiatannya, priyayi berhak mendapatkan lungguh (apenage), atau dapat pula disebut sebagai “tanah gaji”.

Guna mengerjakan tanah gaji tersebut, priyayi memilih petani sikep (petani yang memeluk atau menanggung beban tanah) untuk mengerjakan tanah tersebut. Sikep bisa memperoleh tanah itu dari raja secara langsung ataupun dari penunjukkan priyayi tertentu. Petani Sikep biasanya juga memiliki mumpang (tanggungan) yang disebut bujang (belum menikah) yang bisanya merupakan lapisan terendah dalam lingkungan desa. Dalam hal memperoleh makanan dan tempat tinggal, bujang sepenuhnya bergantung pada sikep yang ia persembahkan hasil pekerjaannya menggarap tanah. Dari proses penggarapan tanah yang dilakukan oleh Sikep dan Bujang tersebut, hasilnya diberikan kepada priyayi sebagai lungguh. Menariknya, pada kondisi saat itu, besar kecilnya lungguh, tidak ditentukan pada luas atau sempitnya tanah yang menjadi tanah gaji tersebut. Melainkan dihitung berdasarkan jumlah penduduknya (cacah). Misalnya, seorang priyayi akan mendapatkan kedudukan yang tinggi, atau lungguh yang besar, ketika ia memiliki tanah seluas 800 cacah. Artinya, tanah tersebut mampu dikerjakan oleh 800 keluarga.

Kondisi masyarakat Indonesia demikian bertahan secara turun temurun, dan ketika Belanda datang, hal yang tersebut dimanfaatkan untuk menguntungkan mereka. Pada sekitar abad ke XIX, atau sekitar tahun 1830-1870, Belanda melangsungkan sistem tanam paksa (culturestelseel) terutama kepada masyarakat-masyarakat Jawa. Sistem ini diawali dengan pengambil alihan perkebunan-perkebunan besar negara yang menghasilkan bahan-bahan ekspor oleh Belanda. Perkebunan tersebut tentu membutuhkan tanah, dan pasti tenaga kerja yang cukup besar. Maka dibentuklah pada masa culturstelseel itu suatu pola yang menarik tanah dan buruh dari kaum petani melalui sistem pajak. Petani-petani besar (dalam hal ini priyayi) “dipaksa” Belanda untuk menyerahkan pajak yang berupa tanah-tanah pertanian yang selama ini mereka kuasai dan dapatkan dari raja. Namun, Belanda memberikan pilihan, bahwa kaum priyayi diperbolehkan untuk tidak memberikan tanah sebagai pajak, dengan syarat mereka harus menyerahkan tenaga kerja mereka (sikep dan bujang) untuk bekerja kepada perkebunan Belanda. Para priyayi pun tentu memilih untuk menyerahkan tenaga kerja mereka, dan jadilah bentuk kolonialisme paling kejam yang terjadi di Indonesia. Masyarakat tani kelas bawah (sikep dan bujang) dipaksa menanam apa yang diperintahkan oleh Belanda, tanpa digaji, karena gaji mereka dapatkan dari kaum priyayi yang “menjual” mereka. Sehingga, ketika itu sikep dan bujang “dipaksa” bekerja kepada priyayi dengan gaji kecil, dan setelah itu bekerja lagi kepada Belanda tanpa digaji. Ini adalah bentuk liberalisme yang terjadi sebelum kemerdekaan. Bentuk liberalisme yang demikian, sesungguhnya adalah bentuk liberalisme yang paling kejam, dikarenakan disertai dengan pembunuhan, perampasan hak-hak manusia, serta eksploitasi secara besar-besaran terhadap suatu etnis atau kelompok masyarakat tertentu.

Liberslisme Tanah Pada Masa Orde Baru

Sistem yang diciptakan oleh Orde Lama melalui UUPA, sesungguhnya telah lama ditinggalkan, terutama sejak era orde baru mulai memimpin dan berkuasa. Modal asing begitu deras mengalir masuk ke Indonesia, sehingga sistem yang justru ditakutkan oleh Muhammad Hatta yakni sistem ekonomi Indonesia yang lebih cenderung liberalistik dan individualisme serta cenderung tamak menjadi semakin marak terjadi. Sistem ekonomi liberalistik telah memasuki setiap sendi kehidupan perekonomian Indonesia, dengan mengedepankan prinsip “yang memiliki modal besar, dia yang akan menang, dan setiap yang menang akan selalu menindas yang kalah”. Konsep ini sesungguhnya dilakukan adalah demi bertujuan untuk mengejar pembangunan ekonomi seluas-luasnya dengan menghalalkan segala cara, termasuk di dalamnya melakukan utang luar negeri sebanyak-banyaknya dan meliberalisasi sistem ekonomi dalam negeri, tidak terkecuali tanah. Semangat yang tentu berbeda dengan semongat politik hukum era orde lama ketika itu, yang semangatnya adalah gotong royong, berdiri di atas kaki sendiri, dan cenderung sosialistik.

Pada era orde baru, terutama dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UUPMA), keterbukaan sistem ekonomi yang liberalistik dan penguasaan atas tanah yang sebesar-besarnya oleh sebagian kecil masyarakat bermodal, Orde Baru benar-benar membawa dampak liberalisasi di Indonesia dengan sangat kuat, yang terlihat dari besarnya arus modal asing yang masuk ke Indonesia. Pertumbuhan arus penanaman modal asing yang masuk ke dalam Indonsia dapat digambarkan melalui grafik berikut:

Diagram 1.

Pertumbuhan Arus Masuk PMA ke Indonesia pada tahun  1984-2006

Berdasarkan diagram tersebut, dapat terlihat bahwa pertumbuhan arus modal asing meningkat begitu tajam dalam masa Orde Baru. Selain dari data pertumbuhan modal asing, liberalisasi di Era Orde Baru juga terlihat dari beberapa peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintahan orde baru ketika itu. Peraturan perundang-undangan tersebut dibentuk sebagai salah satu bentuk liberalisasi dari tanah dan sebagai salah satu bukti, bahwa UUPA memang masih ada di era tersebut, namun dalam pelaksanaannya sudah mulai ditinggalkan, dan bahkan dianggap tidak ada. Penulis mencatat, setidaknya terdapat 3 Peraturan perundang-undangan di zaman Orde Baru, di bidang pertanahan yang bertentangan dengan UUPA dan program landreform. Peraturan tersebut diantaranya:

 


 

Tabel 1.

Analisis Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku selama Masa Orde Baru terhadap UUPA

 

No Peraturan Perundang-Undangan Analisis
1 Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional  Nomor 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi Dan Hak Atas Tanah Bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal Berdasarkan ketentuan PMN ini, terutama Pasal 2 ayat (2), sesungguhnya terlihat jelas bahwa Pemerintah Orde Baru ketika itu memang memberikan peluang bagi masuknya penanaman modal asing untuk mengejar pertumbuhan pembangunan. Investasi tersebut tentu membutuhkan tanah, yang kemudian dilakukan dengan memberikan izin lokasi, dan diikuti dengan pemberian hak guna usaha dan hak guna bangunan bagi perusahaan asing tersebut. Padahal, ketentuan dalam UUPA telah menyatakan secara jelas bahwa hanya badan hukum maupun usaha perseorangan yang tunduk pada hukum Indonesia yang mampu memiliki hak guna usaha, maupun hak guna bangunan.

Meskipun pada kenyataannya Peraturan ini sudah dicabut berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 10 tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Pertanahan, namun sesungguhnya dalam hal ini penulis ingin menunjukkan bahwa politik hukum era orde baru ketika itu, memang menginginkan agar pelaksanaan Landreform tidak dijadikan agenda utama dalam pelaksanaan kebijakan di bidang pertanahan. Hal ini dalam artian, kebijakan pertanahan, haruslah disesuaikan dengan upaya untuk mengejar pertumbuhan pembangunan ekonomi dalam negeri yang liberalis.

2 Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1998 Dengan landasan dan pemikiran untuk mengejar perumbuhan ekonomi yang sebesar-besarnya, maka Pemerintah Orde Baru ketika itu memberikan hak penguasaan atas tanah bagi badan hukum yang berskala besar, untuk mengelola pembangunan di bidang perumahan dan permukimam, indsutri, perkebunan, serta pertanian atau tambak. Penguasaan tersebut, kemudian diberikan dalam jumlah yang besar, padahal telah seringkali disebutkan di atas, bahwa penguasaan atas tanah yang berlebihan itu tidaklah pada tempatnya. Hal ini tentu mengingat, masih banyak masyarakat, terutama petani yang belum memiliki tanah sendiri, sehingga petani yang tidak bertanah tersebut dipaksa untuk menjadi buruh tani, dan bahkan dengan gaji yang kecil.
3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai Atas Tanah Peraturan Pemerintah ini memberikan pengaturan yang berbeda dengan UUPA. Di dalam UUPA, Hak Guna Usaha “hanya” atas tanah yang digunakan untuk pertanian dan peternakan. Namun, dalam Peraturan Pemerintah tersebut, Hak Guna Usaha dapat diberikan juga atas tanah yang digunakan untuk perkebunan. Kemudian, tanah perkebunan tersebut diberikan dengan melebihi batas maksimum penguasaan tanah, yakni “hanya” 25 hektare. Pemberian tersebut demi kepentingan pemodal, terutama pemodal asing agar bisa menguasai tanah perkebunan dalam waktu yang lama dan dalam jumlah yang luas.

 


Kesimpulan

Liberalisme, pada kenyataannya telah terjadi bahkan sejak Republik ini berdiri. Proses liberalisasi tersebut, pada kenyataannya hingga pada kondisi saat ini masih terus ada dan bahkan justru menjadi politik hukum utama dalam segala peraturan perundang-undangan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan Sumber Daya Alam.. Banyak hal yang harus diperbaiki dan dipertimbangkan oleh pemerintah saat ini dalam menyikapi hal tersebut. Pada intinya, pilihan kebijakan atas pengelolaan tanah harus segara dipilih oleh Pemerintah. Apakah tetap mempertahankan pola liberalisasi yang saat ini sedang dan semakin marak terjadi dengan tujuan membangun perekonomian yang sebesar-besarnya namun menyengsarakan sebagian besar masyarakat kecil, atau justru mengembalikan konsep kebijakan pertanahan seperti original intent yang dimaksud UUPA, yakni pengelolaan atas tanah yang berbasis kekeluargaan, nasionalisme, serta mengutamakan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.