Oleh
Muhammad Ridwansyah, M.H.
Pendirian partai politik lokal di Aceh diawali oleh pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintah Aceh mulai dibahas di DPR pada tanggal 25 Februari hingga 5 Juli 2006. Pembahasan terkait RUU tersebut itu tidak lama berselang setelah Pemerintah RI menandatangani Nota Kepahaman (Memorandum of Undestanding/ MoU) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Helsinki, Finlandia 15 Agustus 2005. RUU PA disusun dengan DPRD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sejarah panjang hubungan Jakarta-Aceh yang berada pada titik konflik, menjadikan penandatangan Nota Ksepahaman itu menjadi sangat berarti. Apabila ditelaah MoU tersebut terdapat beberapa poin-poin penting perjanjian diantaranya: Pertama, pemerintah Indonesia memberikan kebebasan kepada masyarakat Aceh, termasuk GAM untuk menjalankan pemerintahan di Aceh dengan kewenangan yang sangat besar melalui otonomi khusus, namun masih dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia. Kedua, Pemerintah Indonesia memberikan intensif kepada para anggota GAM berupa pemberian lahan-lahan perkebenunan dan pertanian di daerah utara dan timur di Aceh yang akan didistribusikan kepada para anggota GAM. Ketiga, Pemerintah Indonesia akan memberikan pengampunan (amnesti) kepada seluruh anggota GAM dengan syarat para anggota GAM menyerahkan seluruh senjata yang mereka miliki selama berperang. Pemberian amnesti juga diikuti oleh pemberian hak sipil dan politik secara penuh kepada para anggota GAM. Keempat, dalam konteks pemenuhan hak sipil dan politik tersebut, MoU juga menyetujui agar ditumbuhkan partai politik lokal di Aceh.
Terkait dengan poin keempat Isu tentang partai politik lokal di Aceh muncul setelah ada penandatangan Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia (The Gonvernment of Indonesia disingkat Gol) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di atas. Klausul yang tegas menyatakan akan ditumbuhkannya partai politik lokal dalam MoU ini adalah: klausula 1.2 tentang partisipasi politik (Political partaicipation) yang menyatakan dalam angka 1.2.1 bahwa “As soon as possible and not later than one year from the signing of this MoU, Gol agrees to and will facilitate the establishment of Aceh based political partaies that meet national criteria. Undarstanding the aspiration of Acehnese people for local political partaies, Gol will create, within one year or the latest 18 months from the signing of this MoU, the political and legal conditions for the establishment of local political partaies in Aceh in consultation with parliament”.
MoU di atas memperintahkan bahwa partai politik lokal harus hadir di Aceh, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (selanjutnya disingkat UUPA), pada Bab XI Partai Politik Lokal Pasal 75 ayat (1) menentukan bahwa penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal” karena dalam MoU sendiri pada point 1.2.1 menjelaskan sesegara mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.
Setelah adanya UUPA, bahwa masyarakat Aceh sendiri dapat mendirikan partai politik lokal di Aceh, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, Pasal 1 angka 2 menyatakan: Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) / Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.
Setelah Partai Politik Lokal (Parlok) di Aceh dibentuk ada beberapa parlok yang sudah terdaftar di Kanwil Departmen Hukum dan HAM di Aceh adalah Partai GAM, Partai Generasi Aceh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabhat), Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PS-PNS), Partai Darussalam, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh Meudaulat (PAM), Partai Lokal Aceh (PLA), Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA). Hal ini memang ditegaskan karena parlok dianggap lebih mampu untuk memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan yang amat sempit tersebut. Bisa saja ada partai politik yang hanya ingin menjadi partai lokal saja karena hanya sebegitu kemampuannya atau partai lokal tersebut lebih tertarik pada masalah politik ditingkat lokal sehingga hanya berminta mengajukan calon dalam pemilu tingkat lokal (bahkan hanya disatu provinsi).
Senada dengan di atas kehadiran Partai GAM yang disebut sebagai Partai Aceh (selanjtunya disingkat PA), partai politik lokal dibentuk dengan turunan Pasal 75 UUPA, kendati demikian apabila ditelusuri PA dilengkapi dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PA, hal ini didasari karena dalam rangka terwujudnya cita-cita rakyat Aceh demi menegakkan marwah dan martabat bangsa, agama dan negara serta mewujudkan kesejahteraan yang adil, makmur dan merata materiil dan spiritual dalam dalam kehidupan berdemokrasi bagi bangsa Indonesia.
Jika dilihat awal mula pembentukan PA sendiri, pimpinan politik GAM Malek Mahmud memberikan surat mandat kepada Tgk Yahya Mu’ad S.H., untuk membentuk partai politik lokal pada tanggal 19 Februari 2007. Partai GAM berdiri dengan akta notaris 07 pada tanggal 07 Juni 2007 dengan pendaftaran Kantor Wilayah Hukum dan HAM Nomor WI.UM.08.06-01. Namun, Partai GAM menggunakan lambang bulan bintang, lambang GAM. Sehingga, lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah.
Sementara itu, dalam Surat Kantor Wilayah Hukum dan HAM Aceh dinyatakan bahwa untuk Partai GAM harus ada kepanjangan. Jika tidak diubah, maka tidak boleh diverifikasi untuk sah sebagai badan hukum oleh Kakanwil Hukum dan HAM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebab itu, Partai GAM berubah dan mempunyai kepanjangan Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM) dan juga diverifikasikan oleh Kakanwil Hukum dan HAM pada tanggal 3 sampai dengan 24 April 2008. Kemudian atas dasar persyaratan nasional sebagaimana tertuang dalam point 1.2.1 MoU Helsinki, dengan ini kebijakan Pemerintah Pusat, agar tidak boleh menggunakan nama GAM. Dari situlah, pihak Kanwil Hukum dan HAM Aceh menyurati Partai Gerakan Aceh Mandiri (P-GAM) untuk mengubah lagi namanya. Pada tanggal 6-7 April 2008 diadakan rapat antara Republik Indonesia (RI) dan GAM serta CMI yang difasilitasi oleh IPI Interpeace di Jakarta. Kemudian pada tanggal 8 April 2008, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dengan Meuntroe Malek Mahmud membuat kepastian hukum untuk berdirinya PA.
Salah satu tujuan PA yang tercantum dalam AD/ART tertera sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1) menyatakan mewujudkan cita-cita rakyat Aceh demi menegakan marwah dan martabat Bangsa Agama, dan Negara. (2) Mewujudkan cita-cita MoU Helsinki yang ditandatangani oleh GAM dan RI pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. (3) mewujudkan kesejahteraan yang adil, makmur dan merata materiil dan spiritual bagi seluruh rakyat Aceh. (4) mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka mengmbangkan kehidupan berdemokrasi, yang menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan, Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Jadi dapat dipahami bahwa dibentuknya Partai Aceh itu sendiri agar mewujudkan cita-cita MoU Helsinki serta tujuan yang paling utama didirikan partai ini adalah agar membawa kesejahteraan yang adil, makmur bagi seluruh lapisan masyarakat Aceh. Apa yang diharapan masyarakat pasca konflik memang benar-benar oleh diwujudkan oleh semua partai lokal di Aceh tidak kecuali partai Aceh itu sendiri. Hal ini yang menjadi tujuan utama pembentukan partai lokal di Aceh, dan diharapkan keberadaan PA dapat menyambung kepentingan rakyat di elit pemangku jabatan di Aceh sendiri. Dari situlah masyarakat Aceh tidak mau kehilangan masa depan mereka yang demokratis, adil, dan bermartabat di bawah payung kepastian hukum dengan perumusan ekonomi yang memihak kepada rakyat Aceh secara khusus dan seluruh tanah air secara umum. Para pihak bertekad untuk menciptakan kondisi yang kondusif sehingga pemerintah rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses yang demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia.
Secara teori apabila kita lihat tujuan dari partai politik lokal itu dikategorikan menjadi tiga bagian sebagai berikut: Pertama, Hak Minoritas, partai politik lokal didirikan untuk melindungi dan memajukan hak ekonomi, social, budaya, bahasa dan pendidikan kelompok minoritas tertentu. Kedua, Memperoleh Otonomi, partai politik lokal yang menginginkan untuk memperoleh otonomi bagi daerah mereka atau meningkatkan otonomi yang telah dimiliki oleh daerah itu. Ketiga, Mencapai Kemerdekaan, partai politik lokal yang memperjuangkan kemerdekaan wilayah merdeka dan pembentukan negara baru. Tentunya point ketiga ini sudah dikunci dengan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh.