oleh: Faisol Rahman
Kerugian lingkungan, akibat bencana lingkungan ataupun karena terjadinya pencemaran atau kerusakan lingkungan sangatlah besar apabila dinilai secara materiil. Baik pemerintah maupun perusahaan akan membutuhkan waktu yang relatif lama, untuk memperoleh uang ganti kerugian terhadap korban bencana lingkungan ataupun korban pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Perusahaan bahkan berpotensi menghadapi kebangkrutan seketika, jika sanksi denda materiil atau jumlah ganti kerugian yang dibebankan kepadanya sangat besar.
Sebagai ilustrasi, pada bulan Agustus 2016, Mahkamah Agung (MA) memvonis PT Merbau Pelalawan Lestari untuk membayar denda kepada Negara senilai Rp 16,2 triliun terkait kasus pembalakan liar yang merusak lingkungan. (www.kompas.com, diakses tanggal 21 Februari 2017). Selanjutnya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga memenangkan gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT National Sago Prima (NSP) atas kasus kebakaran hutan seluas 3.000 hektar di Provinsi Riau pada tahun 2014. Hakim menghukum perusahaan membayar ganti rugi dan pemulihan lingkungan sebesar Rp1,07 triliun (www.mongabay.com, diakses tanggal 21 februari 2017). Pada tahun 2010, perusahaan minyak inggris, British Petroleum mengalami bencana ledakan sumur minyak lepas pantai, dengan total kerugian mencapai $ 90 miliar atau sekira Rp 1.194 Triliun (www.wikipedia.com, diakses tanggal 21 Februari 2017).
Apabila dalam kasus diatas, eksekusi tertunda disertai ketidakjelasan kapan terealisasi, maka masyarakat dan lingkungan hidup yang menjadi korbannya. Tidak jarang di beberapa kasus, Negara (pemerintah) turun tangan dengan membantu menyediakan dana talangan yang berasal dari APBN atau APBD dan sudah 10 tahun proses ganti rugi tidak terselesaikan, seperti kasus Lumpur Lapindo. Dengan kata lain, secara tidak langsung masyarakat terbebani akibat biaya ganti kerugian dan pemulihan kondisi lingkungan hidup.
Salah satu jenis instrumen ekonomi lingkungan hidup yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) adalah Asuransi Lingkungan. UUPPLH dan Peraturan pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan juga telah mengamanatkan kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk, mengembangkan dan menerapkan asuransi lingkungan itu dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup. Sayangnya, asuransi lingkungan sebenarnya telah coba dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996 belum dapat berkembang dengan optimal di Indonesia.
Menurut Penjelasan Pasal 43 UUPPLH asuransi lingkungan hidup adalah asuransi yang memberikan perlindungan pada saat terjadi pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup. Saat ini, asuransi lingkungan, telah diterapkan dalam bidang Pengelolaan (Pengolahan) Limbah B3 dan kegiatan yang “Berisiko Tinggi” seperti Nuklir. Sedangkan asuransi dan dana jaminan untuk kegiatan kegiatan seperti petrokimia, kilang minyak dan gas bumi sebagaimana amanat UUPPLH belum diterapkan.
Pada prinsipnya asuransi lingkungan sama dengan asuransi umum, yaitu suatu pengalihan risiko dari seseorang atau badan usaha ke usaha jasa asuransi. Membantu pihak masyarakat dalam hal biaya penggantian kerugian dan pemulihan lingkungan apabila terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Pihak pelaku usaha melalui pihak asuransi telah mencadangkan dana untuk hal-hal tersebut sehingga pihak masyarakat akan mendapatkan kepastian biaya konpensasi dan dilakukannya pemulihan terhadap lingkungan yang tercemar/rusak, hal ini memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Sehingga asuransi lingkungan dapat membantu pihak industri menyediakan dana yang dapat digunakan untuk menghadapi risiko pencemaran atau kerusakan lingkungan atau tuntutan ganti rugi.
Selain itu, asuransi lingkungan juga mampu meningkatkan kinerja perusahaan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Karena konsep dasar asuransi adalah suatu perjanjian, yang memberikan kebebasan bagi para pihak untuk berkontrak. Perusahaan asuransi pun dalam mengeluarkan polis asuransi dapat mengeluarkan syarat-syarat yang harus ditaati oleh perusahaan tertanggung, misalnya adanya syarat untuk menerapkan teknologi pertambangan yang aman bagi lingkungan dan memonitor pelaksanaannya dalam periode waktu tertentu. Dalam hal ini perusahaan asuransi dapat membatalkan klaim asuransi apabila perusahaan tertanggungnya tidak melaksanakan syarat dan ketentuan yang diatur dalam polis asuransi lingkungan.
Pihak tertanggung (pelaku usaha) tentu tidak ingin kehilangan tanggungan yang diperoleh dari premi asuransinya. Usaha asuransi adalah usaha jasa keuangan yang mengumpulkan dana masyarakat dalam bentuk pembayaran premi dan sebagai imbal baliknya perusahaan asuransi menjanjikan untuk mengembalikan dana tersebut kepada nasabah apabila tidak terjadi pengalihan risiko. Jadi, uang tanggungan asuransi tentu dikembalikan kepada pengusaha bila kinerja perusahaan dalam mengelola lingkungan baik serta tidak menimbulkan pencemaran atau ganti rugi lingkungan. Sehingga dampak komulatifnya, dapat dihindari timbulnya kerugian lingkungan yang berpotensi diakibatkan proses industrinya.
Pada prinsipnya, keberadaan asuransi lingkungan dapat berfungsi sebagai upaya untuk mengontrol physical hazard, moral hazard, dan morale hazard karena setiap pihak yang terlibat dalam perjanjian ini memiliki kepentingan untuk mengontrol kinerja pihak lain guna mengurangi kemungkinan terjadinya kerugian lingkungan. Dengan begitu, beban pemerintah untuk mengawasi ketaatan penanggung jawab usaha juga turut berkurang, karena dibantu oleh perusahaan asuransi. Dampak komulatifnya adalah meningkatnya kinerja perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, instrumen asuransi lingkungan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan, sangat berpotensi untuk diterapkan di seluruh kegiatan/ usaha yang berpotensi berdampak negatif terhadap pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Sudah saatnya konsep ini segera dikembangkan oleh para pengambil kebijakan di bidang lingkungan hidup. Semoga…