Oleh: Mohamad Rifki
Salah satu penyebab yang menyatakan bahwa Indonesia saat ini ‘obesitas’ regulasi, karena tidak sedikit undang-undang yang lantas memberikan atribusi langsung kepada menteri untuk menetapkan suatu aturan, sehingga cukup banyak aturan tersebut yang lepas dari kontrol Presiden dan menyebabkan tumpang tindih. Karena pangkal masalah berasal dari undang-undangnya, maka terkait hal tersebut masih terbuka ruang diskusi yang luas untuk mendebatkan keabsahan aturan yang dibuat oleh menteri.
‘Penggerogotan’ kuasa Presiden tidak berhenti di situ. Belum lama ini, telah diterbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 223 Tahun 2018, Nomor 46 Tahun 2018, dan Nomor 13 Tahun 2018 (selanjutnya disebut SKB), yang mengubah keputusan sebelumnya Nomor 707 Tahun 2017, Nomor 256 Tahun 2017, dan Nomor 01/SKB/Menpan-RB/09/2017. Dalam SKB yang terbaru tersebut, cuti bersama di tahun 2018 diubah menjadi 8 hari, sedangkan pada keputusan bersama sebelumnya, cuti bersama untuk tahun yang sama hanya 5 hari. Perubahan terbesar adalah penambahan cuti bersama saat idul fitri, semula hanya 4 hari menjadi 7 hari. Alasan yang dikemukakan adalah untuk mengurai arus lalu lintas saat tradisi mudik pada idul fitri tersebut.
Cuti Bersama Saat Ini
Secara sejarah, cuti bersama merupakan langkah pemerintah untuk kembali menggairahkan sektor pariwisata pasca-peristiwa bom bali. Secara ‘tradisi’ penetapan cuti bersama mencari hari kerja yang berada di antara hari libur yang kemudian dianekdotkan sebagai ‘harpitnas’ atau ‘hari kejepit nasional’, dan secara khusus menetapkan tanggal cuti bersama yang berhimpitan dengan hari raya idul fitri, mengingat tradisi mudik yang merupakan migrasi penduduk ke luar kota-kota besar khususnya Jakarta, menuju asal masing-masing. Apabila tidak dilakukan rekayasa lalu lintas dan tidak tersedia waktu libur yang cukup, maka penumpukan kendaraan atau penumpang tidak dapat dihindarkan.
Namun, dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (selanjutnya disebut PP Manajemen PNS), maka penetapan cuti bersama khususnya bagi PNS kewenangannya berada pada Presiden, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (1) dan ayat (4) PP Manajemen PNS yang menyatakan bahwa cuti bersama ditetapkan oleh Presiden dalam bentuk Keputusan Presiden. PP Manajemen PNS tidak pernah memberikan pendelegasian kewenangan penetapan cuti bersama tersebut, dan Presiden juga tidak pernah secara formal mendelegasikan kewenangan tersebut. Atas SKB yang diterbitkan sebelumnya, Badan Kepegawaian Nasional (BKN) telah mengingatkan dalam siaran persnya tertanggal 5 Oktober 2017, bahwa pengaturan cuti bersama bagi PNS harus ditetapkan dengan Keputusan Presiden, sehingga keberadaan Surat Keputusan Bersama semestinya ditinjau kembali untuk dicabut. Alih-alih Keputusan Presiden yang diterbitkan, kini penambahan cuti bersama hanya melalui perubahan SKB.
Pada tahun 2017 sesungguhnya telah dimulai budaya hukum yang baik dalam penerapan PP Manajemen PNS, yakni dengan ditetapkannya Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 2017 tentang Cuti Bersama Tahun 2017. Meskipun terbitnya Keputusan Presiden tersebut terlalu mendekati libur hari raya idul fitri, setidaknya, pemerintah telah menjalankan mekanisme yang diaturnya sendiri. Namun, dengan adanya SKB tersebut, selain menggerogoti kuasa Presiden dalam menetapkan cuti bersama, juga terdapat permasalahan lain yang cukup pelik. SKB menyatakan bahwa cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan dari pegawai. Padahal dalam PP Manajemen PNS cuti bersama tidak mengurangi hak cuti tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 333 ayat (2).
Dari contoh kecil ini, sebaiknya para menteri kembali mengingat status keberadaanya dalam pemerintah. Konstitusi mengatur bahwa menteri sebagai pembantu Presiden, artinya kewenangan seorang menteri tidak dapat melampaui kewenangan Presiden. Sekalipun kewenangan didapatkan dari atribusi undang-undang, sebaiknya tetap melakukan koordinasi dan laporan kepada Presiden sesuai koridor yang ada.
Bila melihat ketentuan tersebut, PNS pada khususnya dihadapkan pada regulasi yang tumpang tindih. SKB yang juga mengikat PNS memuat ketentuan bahwa cuti bersama mengurangi hak cuti tahunan, tetapi ketentuan dalam PP Manajemen PNS cuti bersama tidak mengurangi cuti tahunan. Selain itu, PP Manajemen PNS juga menyatakan bahwa penetapan cuti bersama dalam bentuk Keputusan Presiden, sehingga apabila tidak diterbitkan Keputusan Presiden yang menetapkan cuti bersama, apakah lantas PNS dapat menikmati cuti bersama.
Perbaikan Penetapan Cuti Bersama
Berdasarkan informasi yang beredar, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah menyusun draft Keputusan Presiden yang menetapkan cuti bersama bagi PNS hanya saja belum ditandatangani oleh Presiden. Meskipun Keputusan Presiden merupakan beschiking bukan regeling, sesungguhnya juga dapat memuat ketentuan bahwa cuti bersama yang ditetapkan bagi PNS dapat menjadi rujukan bagi lembaga/instansi swasta, sama seperti bunyi diktum KETIGA dan KELIMA dari SKB. Apabila rumusan ini dimuat dalam Keputusan Presiden, maka tidak dibutuhkan lagi SKB yang sampai saat ini masih ditetapkan setiap tahunnya.
Hari libur sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat diperkirakan sebelumnya (predictable), agar memenuhi asas pemerintahan umum yang baik dan memberikan kepastian, maka penetapan cuti bersama dalam Keputusan Presiden sebaiknya ditetapkan pada tahun sebelumnya. Selain sebagai wujud pelaksanan PP Manajemen PNS dengan mengembalikan kewenangan Presiden, secara ekonomi juga akan memberikan efek ‘domino’ terutama untuk sektor pariwisata, karena sudah dapat dipastikan kapan ‘musim libur’-nya. Bila ini dapat diwujudkan, maka filosofi tindakan pemerintah berupa penetapan cuti bersama dapat tercapai, yakni menggairahkan kembali sektor pariwisata yang memberikan efek perputaran roda ekonomi sekaligus.