Oleh: Gunawan Aineka
Satu lagi terjadi kebocoran kasus kepada publik tentang layanan kesehatan di rumah sakit. Bayi kecil bernama Debora meninggal dirumah sakit diduga karena tidak mendapat perawatan yang maksimal. Melihat dari sisi kemanusiaan, mestinya kita turut bersimpati dan merasakan pedihnya penolakan upaya maksimal dari RS karena kurangnya biaya.
Sebetulnya peristiwa ini merupakan potret kondisi pelayanan kesehatan kita saat ini. Meskipun UUD 1945 menjamin hak atas pelayanan kesehatan, kasus ini salah satu bukti bagaimana sulitnya akses layanan kesehatan maksimal bagi rakyat biasa. Dasar berdirinya rumah sakit adalah bertujuan kepada kepentingan sosial, mengapa demikian, karena usaha perumah sakitan bergerak dibidang kemanusiaan khususnya kesehatan. Kemudian profesi yang mendasari rumah sakit sehingga dapat beroperasional pun juga merupakan profesi yang dalam sumpah profesinya menyatakan bahwa mereka akan mengabdikan diri dibidang kemanusiaan. Konsekuensi dari kedua hal diatas adalah baik rumah sakit ataupun tenaga kesehatan akan senantiasa mendahulukan kepentingan kemanusiaan, manusia yang membutuhkan pertolongan. Secara hukum,dasar perumah sakitan dituangkan kedalam Undang-Undang Nomor 44 tahun 2009 Tentang Rumah Sakit dan Undang-Undang nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Disana, secara yuridis diatur kewajiban-kewajiban baik rumah sakit maupun profesi dokter. Persoalan pembiayaan inilah yang kemudian ditanggung oleh pemerintah secara penuh atau sebagian melalui mekanisme pembiayaan yang saat ini kita kenal dengan program Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS).
Kasus Debora adalah peringatan untuk kesekian kalinya kepada pemberi layanan kesehatan baik rumah sakit atau tenaga kesehatannya. Komunikasi yang baik dengan pasien adalah kunci keberhasilan upaya layanan kesehatan. Sebelum sengketa menjadi luas dan merugikan pihak-pihak terkait, ada baiknya pemicu konflik seperti kurangnya komunikasi dan penjelasan mengenai layanan dan tindakan medis diberikan secara layak dan patut kepada pasien. Acuan seperti persetujuan tindakan medis (informed consent), rekam medis dan hak-hak pasien perlu diperhatikan.
Perlu juga kita ketahui bahwa rumah sakit bukanlah tempat yang aman, rumah sakit merupakan tempat yang begitu kompleks yang terdiri dari berbagai profesi dan kewenangan yang berbeda pula. di negara maju seperti Jepang dan Amerika kesalahan medis juga sering terjadi. Bahkan rilis data di Amerika menyatakan bahwa kurang lebih 98.000 kasus medical error tejadi dirumah sakit yang berujung kematian beberapa tahun lalu. Data ini dibuka untuk publik agar kinerja aparat pelayanan kesehatan terus diawasi dan dievaluasi. Bagaimana dengan kita di Indonesia. Ranah kesehatan seolah tabu dengan keterbukaan informasi. Bahkan, yang paling sulit diterima adalah hak pasien sendiri atas informasi kondisi medisnya masih sulit dipenuhi. Padahal hak pasien atas informasi telah dituangkan dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran secara khusus mencantumkan tentang hak pasien. Kaitannya dengan kasus ini adalah di dalam Pasal 52 huruf c UU praktik kedokteran dinyatakan:“Pasien dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak: mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis”. Hak pasien ini kemudian dipertegas lagi dalam pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, bahwa: setiap pasien mempunyai hak: huruf c, memperoleh layanan yang manusiawi. d, memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional. e, memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan materi. Sedangkan kewajiban pasien adalah tidak lain selain menunaikan kewajibannya (membayar) dan mematuhi anjuran dokter.
Implikasi kasus Debora saat ini berakibat fatal terhadap eksistensi rumah sakit MK, sejatinya kasus Debora mengancam keberadaan rumah sakit ini kedepannya. Evaluasi yang tidak menutup kemungkinan untuk pencabutan izin operasional mungkin saja dilakukan pemerintah. Akan tetapi, “tidak mungkin menghancurkan rumah hanya untuk menangkap seekor tikus”. Artinya untuk mengusut satu kasus ini jangan lah kita mengenakan hukuman kepada rumah sakit secara keseluruhan dengan cara menutupnya. Tidak bisa dipungkiri kebutuhan fasilitas dan tenaga kesehatan kita masih jauh dari kata mencukupi. Hakikat pendirian rumah sakit swasta adalah sebagai penunjang rumah sakit pemerintah untuk memberikan layanan kesehtan secara maksimal. Artinya, secara nasional, pemerintah pun belum mampu untuk mencukupi kebutuhan upaya pelayanan kesehatan. Belum lagi perbandingan rasio dokter dan pasien di Indonesia yang masih sangat jauh dan memprihatinkan. Peruntukan APBN untuk kesehatan hanya 5%, bahkan daya serapnya tidak mencapai angka tersebut.
Keberadaan rumah sakit MK perlu untuk dipertahankan. Kesalahan-kesalahan seperti ini bukanlah milik rumah sakit MK saja. Kasus Debora dan rumah sakit ini hanyalah kasus yang tampak kepermukaan, masih banyak kasus yang tidak tampak kepermukaan. Sumber dari Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa: jika terdapat satu kesalahan fatal yang berujung kecacatan atau kematian, maka terdapat 10 kecelakaan ringan dibelakangnya. Persoalan inilah yang harus menjadi fokus kita masyarakat, pemerintah, stake holder dan pihak-pihak terkait lainnya untuk terus berbenah. Kultur dan budaya Indonesia yang penuh keramahan, perlu kita aplikasikan kedalam aspek pelayanan kesehatan. Sebagaimana juga telah diwajibkan tentang penyajian komunikasi dan informasi.
Sebagai penutup, konflik debora dan rumah sakit baiknya diselesaikan secara damai, kepergian debora sudah tidak dapat digugat. Pihak orang tua debora menyesalkan tindakan rumah sakit MK yang tidak memberi upaya maksimal. Disisi lain pihak rumah sakit MK menyatakan telah melaksanakan tindakan atau upaya tindakan medis sesuai standar prosedur. Sementara ada hal yang tidak bisa kita pungkiri, yaitu layanan kesehatan bukan berarti menjamin kesembuhan seperti sedia kala, layanan kesehatan adalah bersifat daya upaya.