Oleh: Yulianta Saputra
LATAR BELAKANG
Dalam konstitusi telah ditandaskkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Selain itu juga ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bahwa Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan.Dengan demikian, setiap manusia berhak mendapat perlindungan dari suatu kekerasan.
Era kontemporer ini, kekerasan yang marak terjadi salah satu di antaranya adalah perbuatanmain hakim sendiri. Dalam optik hukum, tindakan tersebut sebenarnya termasuk dalam kategori tindakan extrajudicial. Apabila dihubungkan dengan konteks relevansinya kejahatan, sejatinya ihwal tersebut secara implisit menjadi kritik terhadap tatanan hukum di negeri ini, yang kian banyak menampung penjahat maupun bromocorah dalam pelbagai versi kejahatan tetapi senantiasa kandas menjerakan si terhukum. Aparat penegak hukum dan putusan-putusan pengadilan terkadang gagal memberikan keadilan.
Jujur dan harus diakui, penegakan hukum di negara ini memang semakin lama semakin rusak. Hukum rimba dipertontonkan di mana-mana.Apa pun motivasinya, tindakan main hakim sendiri mencerminkan tindakan yang mengobrak-abrik hukum; seolah-olah negara ini sudah tidak mempunyai tatanan hukum yang beradab. (Tjipta Lesmana, 2013)
Sudah terlalu lama kinerja hukum Indonesia mendapat sorotan yang tajam, disebabkan oleh kegagalan dalam menjalankan fungsinya sebagai suatu lembaga yang melindungi dan memberikan keadilan kepada masyarakat. Tidak sedikit yang dengan sinis mengumpamakan hukum Indonesia sebagai sedang sakit berat dan sudah semestinya dilarikan ke ‘ruang gawat darurat’. (Satjipto Rahardjo, 2006)
Krisis menimpa sekalian bidang fundamental hukum. Kredibilitas hukum banyak menurun, yang dapat diamati baik secara fisik maupun psikis. Perusakan terhadap bangunan Polsek (kepolisian sektor) bergandengan tangan dengan perlawanan terhadap eksekusi putusan pengadilan yang final, di sana-sini. Itu merupakan tanda ketidakpercayaan dan kurang penghormatan masyarakat terhadap hukum. Kalangan komunitas hukum sendiri bukannya tak menyadari keadaan seperti tersebut di atas. Misalnya, mereka menampung keluhan-keluhan tentang kolusi, tentang apa yang dinamakan mafia di pengadilan dan sebagainya serta berusaha untuk mencari jalan keluar untuk memperbaiki kinerja pengadilan. Tetapi, hasilnya tidak banyak, bahkan mungkin tidak ada.
Konsekuensi dari hal tersebut adalah semakin maraknya bermunculan tindak-tindak kekerasan yang semakin sulit diterima nalar.Dewasa ini sangat banyak dijumpai kasus hukum rimba yang dipertontonkan oleh massa tidak dikenal terhadap orang yang dicurigai sebagai pencuri di perkampungan atau pencopet di terminal.Massa mengamuk, menggebuki atau membakar orang-orang yang tercurigai sampai mati. Hukum rimba juga terlihat di jalan raya ketika bus kota dan kendaraan pribadi melindas pengguna jalan lain. Massa anonim dengan segera merusak dan membakar kendaraan tersebut di bawah tatapan polisi yang seolah tiada berdaya apa-apa. Ironisnya, massa pelaku kekerasan melalui hukum rimbanya dalam praktik tak jarang memiliki imunitas terhadap ketentuan dan sanksi hukum. (Yulianta Saputra, 2013)
Inilah pertanyaan kontemplatif buat seluruh jajaran penegak hukum dan pemerintah agar rumusan hukum yang eksak di negeri ini tak digeser menjadi dogma hukum rimba yang memberikan ruang kepada mereka yang kuat untuk menghabisi yang lemah.Tindakan main hakim sendiri itu memorak-porandakan kepercayaan umum terhadap supremasi hukum di negeri ini.
Taruhannya bukan hanya citra negara di panggung pergaulan antarbangsa, melainkan juga kadar kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara negara. Jika rakyat sampai pada kesimpulan bahwa negara lemah menyikapi tragedi makin hakim sendiri, keadaan bisa saja menjadi semakin tak terkendali.Demikian mengindikasikan ada yang pasif dengan sistem kenegaraan kita, khususnya perihal penegakan hukum. Akibat supremasi hukum yang lemah, masyarakat cenderung bermain hakim sendiri. Kriminalitas dan aksi premanisme seakan menjadi satu aktivitas yang biasa-biasa saja.Dalam hal ini juga tampak sekali pergeseran nilai tengah terjadi di masyarakat, sehingga tindakan main hakim sendiri menjadi hal yang “terasa” legal dan halal untuk dilakukan, di antaranya:(Umbu Tw Pariangu,, 2013)
Pertama, pergeseran nilai hukum yaitu persepsi masyarakat tentang tindakan main hakim sendiri dianggap menjadi hal yang legal, karena perbuatan itu atas dasar sebuah konsensus spontanitas yang dibuat oleh masyarakat, hal ini terjadi karena masyarakat banyak yang tidak percaya kepada aparat keamanan, sehingga aksi main hakim sendiri menjadi suatu tindakan yang halal untuk dilakukan serta dianggap tidak melanggar undang-undang tertulis.
Kedua, pergeseran nilai dalam ranah kesantunan, opini masyarakat cenderung menyalahkan secara penuh terhadap keluarga pelaku, karena pelaku hidup dan dididik di lingkungan keluarga tersebut, sehingga keluarga pelaku menjadi sasaran sumpah serapah dan olok-olokan sebagian masyarakat, padahal pandangan seperti ini tentu kurang bijak.Tak seharusnya keluarga pelaku dinilai sama seperti pelaku. Hal ini justru membuat para pelaku dan keluarganya semakin menjadi bagian yang terasing di masyarakat dan tidak menutup kemungkinan akan mengulangi kejahatan yang sama. Disinilah letak persoalan yang sangat fundamental, kita kehilangan sisi humanis kita sebagai manusia, oleh karena itu diperlukan peran berbagai elemen untuk melakukan pencerdasan di tengah masyarakat guna meluruskan persepsi yang keliru ini, tentunya peran kolektifitas kita sebagai warga negara dan bangsa Indonesia yang senantiasa selalu menjunjung tinggi asas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Salah satu contoh aksi main hakim sendiri yang sangat tragis adalah ketika empat pelaku kejahatan di Pondok Gede yang sudah ada di atas mobil patroli Polisi, kemudian diseret, dianiaya dan dibakar oleh massa. Menyikapi kejadian tersebut, komentar yang muncul dari salah satu anggota masyarakat adalah: “… kalau diserahkan kepada polisi, tak lama lagi mereka akan keluar dan kembali nodong”. Komentar ini menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada aparat penegak hukum telah hilang dan juga menunjukkan rendahnya kemampuan polisi untuk mencegah tindakan main hakim sendiri tersebut.Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum di negara kita, bagaimana wibawa hukum tidak kalah dengan preman jalanan.
Mencermati perilaku masyarakat dalam menyikapi berbagai tindak pidana kejahatan tersebut, pertanyaan yang muncul adalah mengapa masyarakat berperilaku demikian? Tidak mampukah peraturan hukum sebagai sarana kontrol sosial mencegah tindakan main hakim sendiri? Hubungan yang erat antara hukum dan masyarakat ini oleh Durkheim ditunjukkan oleh perbedaan bentuk dan cara pelaksanaan hukum dalam suatu struktur sosial masyarakat yang berbeda. Dalam teorinya tentang solidaritas sosial, Durkheim membedakan masyarakat dalam dua jenis yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Solidaritas mekanik ditandai oleh pembagian kerja yang rendah, kesadaran kolektif kuat, idividualisme rendah, hukum yang sifatnya represif sangat dominan, konsensus terhadap pola-pola normatif sangat penting, keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang sangat besar, dan bersifat primitif atau pedesaan. Dengan ciri yang demikian, maka hukum ini mendefinisikan setiap perilaku kejahatan sebagai ancaman terhadap solidaritas. Oleh karenanya pemberian hukum di sini dilakukan tanpa harus mencerminkan pertimbangan rasional yang mendalam mengenai jumlah kerugian secara objektif yang menimpa masyarakat dan juga bukan merupakan pertimbangan yang diberikan untuk menyesuaikan hukuman dengan kejahatannya. Hukuman tersebut cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif. Sedang solidaritas organik ditandai oleh perbagian kerja yang tinggi, kesadaran kolektif rendah, hukum yang sifatnya restitutif lebih dominan, individualis tinggi, lebih mementingkan konsensus pada nilai-nilai abstrak dan umum, badan-badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang, dan bersifat industrial-perkotaan. Penerapan hukuman dalam solidaritas mekanik lebih bertujuan untuk memulihkan perilaku masyarakat agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat.
Kemajuan pembangunan yang dicapai oleh masyarakat Indonesia saat ini secara umum dapat dikategorikan pada struktur masyarakat bentuk solidaritas organik. Dengan kemajuan ini tentunya norma hukum yang dianut lebih bersifat restritutif. Namun melihat perilaku main hakim sendiri yang dilakukan oleh masyarakat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai penerapan hukum yang berlaku pada masyarakat yang memiliki karakteristik solidaritas mekanik.
Ketidakselarasan antara kemajuan zaman dengan praktik pelaksanaan hukum ini selanjutnya dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. Penyimpangan atau ketidaksesuaian yang terjadi dalam masyarakat ini, dalam teori sosiologi disebut sebagai anomie. Yaitu suatu keadaan dimana nilai-nilai dan norma-norma semakin tidak jelas lagi dan kehilangan relevansinya. Tindakan main hakim sendiri, dengan demikian dapat dikategorikan sebagai anomie, atau dalam kasus main hakim sendiri ini terjadi ketidaksesuaian dalam penerapan fungsi hukum dengan tujuan yang diinginkan oleh masyatakat. Pelaksanaan fungsi hukum oleh lembaga hukum dipandang oleh masyarakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, sehingga masyarakat menjalankan hukumnya sendiri. Berlarutnya penyelesaian berbagai kasus pelanggaran hukum yang tanpa ujung telah menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan perangkat hukum.
Main hakim sendiri bukanlah cermin masyarakat demokratis. Demokrasi Indonesia bisa tumbang jika masyarakat cenderung memilih cara kekerasan dalam mengelola konflik. Masyarakat harus menahan diri dan mencari keadilan di meja hijau. Jika rasa aman dan keadilan belum ditemukan, kita bisa mencarinya melalui institusi-institusi formal yang disediakan demokrasi. Para pelaku kriminal merupakan bagian dari masyarakat yang butuh dibina, bukan dibinasakan.
Mengelola konflik dengan cara nirkekerasan butuh kemauan, kemampuan, dan kesabaran dari semua pihak. Jika kita mengabaikan proses tersebut, pemerintah dan masyarakat sedang mengalami pembusukan.Penulis menyadari bahwa tingkat kepercayaan publik sudah mengalami degradasi terhadap aparat penegak hukum,bukan tanpa sebab karena banyaknya kasus para penegak hukum yang tersandung kasus korupsi dan suap diberbagai lapisan instansi. Banyak hakim yang seharusnya mengadili terdakwa malah duduk dikursi pesakitan karena terkait kasus suap, jaksa yang seharusnya memberikan tuntutan malah dituntut karena menerima uang suap dari terdakwa. Belum lagi berita terpidana yang memiliki fasilitas mewah didalam penjaranya. Itu semua cermin seakan penegak hukumnya saja sudah tidak taat hukum,apalagi masyarakatnya.
Masyarakat sedang terpenjara oleh ketakutan dari berbagai aksi kriminal dan berusaha menyelamatkan diri dari kegilaan yang sedang terjadi. Setiap orang menjadi saling curiga dan tidak lagi menaruh rasa percaya. Kondisi struktur sosial semacam itu mencetak perilaku masyarakat jadi tak karuan. Masyarakat menjadi paranoia, membutuhkan pelampiasan hasrat atas berbagai tekanan yang selama ini diterima.
Kekerasan untuk membela diri atau main hakim sendiri merupakan sesuatu tindakan masyarakat untuk mendapatkan keadilan disaat aparat atau negara tidak efektif menegakan hukum. Main hakim sendiri adalah perbuatan melampaui hukum yang menerabas batas baik dan buruk, benar dan salah. Bersamaan dengan maraknya main hakim sendiri berubah pula pandangan masyarakat terhadap batas-batas moralitas.
George Bataile dalam Literature and Evil, mengatakan ada suatu kondisi yang disebut sebagai hipermoralitas,yaitu suatu kondisi dimana ukuran-ukuran moralitas yang ada tidak dapat dipegang lagi. Dari pendapat Sidney Jones, dapat disimpulkan terjadinya aksi main hakim sendiri adalah dampak dari lemahnya negara. Disisi lain, tindakan main hakim sendiri merupakan sisi gelap dan potensi negatif dari sistem demokrasi yang inheren dalam masyarakat. Main hakim sendiri merupakan konsekuensi dari demokrasi yang tidak menegakan hukum secara adil dan mencegah terjadinya kriminalitas yang marak dimasyarakat.
Bila negara tidak mampu menyelesaikan permasalahan kejahatan dan memberi rasa aman kepada masyarakat, tidak dapat dipungkiri akan banyak yang merasa untuk membela diri atau main hakim sendiri. Masyarakat akan semakin menegasikan peran penegak hukum dan tidak percaya lagi kepada institusi pemerintahan lantaran runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi negara sebagai penopang demokrasi.
Main hakim sendiri merupakan pengejawantahan balas dendam yang turun temurun oleh korban, keluarga korban, ataupun pihak lain kepada pembuat korban. Bahayanya ialah terjadinya akumulasi ketidaktaatan hukum dalam masyarakat sehingga hukum seolah-olah tak berdaya. Warga akan cenderung menegakkan kebenarannya sendiri-sendiri (individualistik) tanpa memperhatikan kepentingan yang lebih luas. Lebih ekstrim lagi, bisa terjadi apa yang pernah dikatakan oleh Hobbes, bahwa manusia adalah serigala bagi sesamanya (Homo Homini Lupus). Akan banyak muncul peristiwa main hakim sendiri, seperti membakar pencuri hidup-hidup, pembunuhan ramai-ramai oleh warga terhadap oknum yang disangka sebagai dukun santet, dan sebagainya. Bisa dipastikan bahwa kian banyaknya kasus yang ketahuan (tertangkap) merupakan pertanda perilaku negatif atau anti otoritas di masyarakat sudah kian meningkat.
Hendaknya masyarakat menyadari bahwa tindakan Main Hakim Sendiri, sesungguhnya adalah merupakan tindakan kejahatan, sehingga diharapkan masyarakat agar sadar dan tidak segan-segan untuk melaporkan tindakan kejahatan main hakim sendiri kepada Petugas Kepolisian, jika terjadi kasus tersebut.